Kolom Jogja
Sabtu, 10 Desember 2011 - 20:25 WIB

Satu gunung satu manajemen

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Herman Suryosardjono, Anggota Pengarah/Penasihat BPBD Provinsi Jawa Tengah (ist)

Herman Suryosardjono, Anggota Pengarah/Penasihat BPBD Provinsi Jawa Tengah (ist)

Upaya menangani kompleksitas permasalahan Gunung Merapi bak menegakkan benang basah.  Ketika Gunung Merapi sudah reda dari erupsi, muncul masalah lahar dingin.

Advertisement

Pakar kegunungapian memperkirakan di Merapi terdapat 130 juta m3 pasir  dan tidak lebih 20% persen yang sudah turun  terbawa air hujan.

Pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam penanggulangan bencana seakan kewalahan untuk memulai dari sektor apa permasalahan Gunung Merapi dapat diatasi secara cepat dan tepat sasaran.

Persoalannya adalah ketika  erupsi Gunung Merapi mulai reda, realisasi rehabilitasi Gunung merapi menjadi tertunda beberapa saat akibat ancaman lahar dingin yang terbawa hujan.

Advertisement

Penundaan tersebut membawa konsekuensi penanggulangan bencana berhadapan dengan siklus baru Merapi. Aktivitas erupsi Merapi dari tahun ke tahun menunjukkan daurnya semakin pendek, dari puluhan tahun menjadi enam tahun dan pada erupsi terakhir menunjukkan perubahan siklus menjadi lebih cepat yakni empat tahun dari kejadian sebelumnya.

Sementara itu, hingga saat ini masih banyak warga terdampak yang hidup di hunian sementara. Pada masa sebelum erupsi mereka mengandalkan sektor pertaningan ladang atau penambangan pasir sebagai sumber ekonomi.

Sampai saat ini mereka belum mendapatkan akses ekonomi yang lebih layak. Masih banyak pula warga yang mendiami area kawasan rawan bencana (KRB) III erupsi maupun banjir lahar dingin.

Lokasi tempat tinggal mereka ini adalah  wilayah yang diharamkan untuk ditempati karena besarnya ancaman. Semua itu diakibatkan akumulasi kerusakan lingkungan maupun ekosistem dan sumber ekonomi yang sebelumnya dapat  diakses masyarakat  sekitar Gunung Merapi.

Advertisement

Upaya pemerintah sebenarnya sudah mulai dilakukan di tingkat daerah. Pemerintah daerah menjadi penanggung jawab utama di wilayah masing-masing. Pemerintah pusat membentuk tim pendukung teknis dengan payung hukum Keppres No 16/2011  tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di DIY dan Jawa Tengah. Tim ini hanya bekerja pada tahap pascabencana, padahal kebutuhan pengelolaaan meliputi prabencana, saat bencana dan pascabencana.

Pemerintah & masyarakat

Disaster management yang saat ini  diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia  menjadi ”penanggulangan bencana” memang sedang berlangsung di kawasan Gunung Merapi.

Penanggulangan bencana tersebut dilakukan lembaga pemerintah maupun swasta seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), instansi pemerintah sektoral maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Advertisement

Saat ini pemerintah mendorong pentingnya pembentukan BPBD di daerah, namun  akan lebih ideal jika penanganan permasalahan Gunung Merapi selama periode tertentu dapat dikelola oleh satu badan atau satu lembaga yang mempunyai kekuasaan, kekuatan dab fungsi yang optimal.

Model satu manajemen dapat diterapkan dengan mengadopsi wacana pengelolalan sungai yang melewati puluhan wilayah administrasi baik kota maupun kabupaten. Contohnya adalah pengelolaan Sungai Bengawan Solo yang melintasi dua provinsi dan lebih dari 23 kabupaten atau kota. Model ini sering disebut dengan satu sungai satu manajamen, one river one management.

Ada beberapa alasan mengapa penanganan Gunung Merapi akan lebih bermanfaat jika ditangani satu badan yang dibentuk untuk mengelola kompleksitas permasalahan di Gunung Merapi.

Pertama, luas area Gunung Merapi. Secara administratif, Gunung Merapi berada di dua provinsi yakni Jawa Tengah dan DIY, mencakup empat kabupaten yakni Magelang, Sleman, Klaten dan Boyolali. Jika menggunakan rumus kawasan risiko bencana I-III, wilayah ini dihuni lebih dari 90.000 warga yang menyebar di barat, selatan,timur dan utara Merapi. Sebuah populasi yang sangat besar untuk dapat digerakkan dalam konteks penyelamatan.

Advertisement

Kedua, fokus internasional. Meskipun Permasalahan Gunung Merapi adalah permasalahan domestik atau daerah  di mana gunung tersebut berada, realitasnya juga menjadi perhatian masyarakat dunia dengan berbagai latar belakang sudut pandang. Pakar kegunungapian menyatakan Gunung Merapi adalah gunung paling aktif di dunia.

Fenomena ini mempunyai daya tarik internasional dan sejumlah pakar mengamatinya. Kawasan Gunung Merapi juga merupakan tempat yang paling baik bagi proses pembelajaran dan praktik penanganan bencana pada semua tahap baik pra, saat, maupun pascabencana bagi semua lapisan masyarakat.

Dari praktik tersebut  diharapkan muncul konsep yang selalu terbarukan dalam penanganan bencana, khususnya menyangkut tata kelola bencana kegunungapian yang dapat dimanfaatkan  ditempat lain dengan kesamaan fenomena.

Ketiga, besarnya sumber daya. Ketika tanggap darurat Merapi ditetapkan, tidak terkira berapa jumlah sumber daya manusia dilibatkan untuk kegiatan penyelamatan dan pengurusan pengungsi baik sumber daya di birokrasi pemerintahan, TNI serta kepolisian, dan juga melibatkan komunitas relawan lokal maupun relawan nasional bahkan internasional

Pada tahap lain pascaerupsi masih memerlukan sumber daya manusia yang tidak sedikit dari pemerintah maupun swasta. Instansi pemerintah melalui BPBD  dan lembaga nonpemerintah yang tergabung dalam forum pengurangan risiko bencana DIY maupun Jateng seakan-akan menjadi kunci pelaku pelaku penanggulangan bencana di wilayah tersebut, di samping relawan relawan lainnya.

Sumber daya manusia yang terlibat dalam penanganan kebencanaan Merapi merupakan kendala dalam pengoodinasian karena proses penanggulangan bencana di Merapi tidak boleh sepotong-sepotong dan harus terkait antara sektor satu dengan sector lainnya sehingga setiap kesempatan untuk melakukan kegiatan penanggulangan bencana harus secara terintegrasi.

Advertisement

Ini tentu menyedot sumber daya finansial yang tidak sedikit untuk memulihkan infrastruktur, merehabilitasi maupun untuk menghadapi ancaman bencana berikutnya baik yang bersumber dana publik maupun sektor swasta. Kgiatan rehabilitasi dan rekonstruksi akibat erupsi Merapi tahun lalu diperkirakan butuh lebih dari Rp 3,5 triliun yang  harus dianggarkan dalam APBN.

Keempat, struktur birokrasi. Terbentuknya empat BPBD di DIY dan Jateng, yakni Sleman, Magelang, Klaten dan Boyolali beberapa waktu pascaerupsi Merapi patut diapresiasi. Namun, tak dapat disangkal bahwa pembentukan BPBD tersebut juga sarat dengan permasalahan internal seperti terbatasnya sumber daya dengan kompetensi optimal  dan jumlah  yang memadai maupun terbatasnya anggaran yang bersumberkan APBD.

Kelima, dampak multiarea. Dampak erupsi Merapi merupakan dampak yang bersifat multiarea. Artinya dampak yang diakibatkan dari erupsi tersebut tidak mengenal wilayah adminsitratif pemerintahan. Sebagai contoh, warga Dusun Setabelan, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali pada saat erupsi Merapi mengungsi ke Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Warga Cangkringan, DIY yang pada saat kejadian mengungsi ke wilayah Klaten.

Plus-minus
Gagasan satu gunung satu manajemen (SGSM) di Gunung Merapi  layak untuk dipertimbangkan dari sisi plus dan minusnya walaupun tentu  juga akan menuai pro dan kontra. Jika dilihat dari sisi plusnya, konsep SGSM akan mengurangi mata rantai birokrasi dan koordinasi. Proses pengendalian penanggulangan bencana menjadi terpusat dan dikendalikan satu manajemen.
Selain BPBD, instansi sektoral tidak diperlukan  lagi.

Namun, sumber daya manusianya dapat dialihkan atau dipinjamkan selama beberapa tahun untuk menempati posisi dalam konsep SGSM Merapi sesuai dengan kebutuhan dan kecakapan. Selain itu, administrasi keuangan yang dari pemerintah pusat akan lebih akuntabel dan tidak terlalu rumit dengan urusan pertanggungjawaban.

Penolakan mungkin saja akan terjadi. Bagi pihak-pihak tertentu erupsi Gunung Merapi adalah berkah tersendiri karena jutaan meter kubik pasir mempunyai nilai ekonomis yang dapat diekploitasi secara bebas. Selain itu bagi daerah pemangku wilayah, retribusi penambangan pasir maupun jenis galian C lainya akan menambah PAD. Penolakan mungkin  juga akan muncul dari  oleh satuan kerja perangkat daerah teknis/sektoral karena tidak mendapat jatah  ”proyek” dari kegiatan penanggulangan bencana.

Permasalahan di Gunung Merapi lebih ke arah permasalahan teknis. Tanpa mengesampingkan persoalan administrasi tataran birokrasi serta  kependudukan, logis kalau wacana  pengelolaan kebencanaan di Gunung Merapi menjadi satu manajemen. Tinggal sekarang bagaimana kontribusi otoritas politik untuk dapat mengambil kebijakan dalam pengelolaan bencana di Gunung Merapi.

Penyelesaian permasalahan tersebut  harus sesuai dengan prinsip penanggulangan bencana yakni, cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna, transparansi dan akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, nondiskriminasi serta nonproletisi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif