Tokoh
Rabu, 16 November 2011 - 14:11 WIB

Satrio Rikanto, berjuang ala Mick Jagger

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Satrio Rikanto (JIBI/SOLOPOS/Chrisna Chanis Cara)

Satrio Rikanto (JIBI/SOLOPOS/Chrisna Chanis Cara)

Pembawaannya kalem. Tutur bicaranya pun njawani. Hal itulah yang tebersit di benak Espos kala berbincang dengan salah satu pentolan rock Kota Solo, Satrio Rikanto. Namun jangan salah. Profil kesehariannya itu bisa berubah 180 persen kala ia naik panggung.

Advertisement

Gaya ekspresif dan meluap-luap ala Mick Jagger menjadi ciri khas lelaki kelahiran Solo, 13 Desember 1963 ini saat membakar panggung rock bersama band-nya, Java Stones.

“Sampai-sampai orang menyebut saya Rick Jagger. Di panggung hingga kampung, orang tahunya saya ya Rick Jagger, bukan Satrio Rikanto,” ucapnya saat ditemui di Pendapa Sriwedari, Selasa (15/11/2011).

Advertisement

“Sampai-sampai orang menyebut saya Rick Jagger. Di panggung hingga kampung, orang tahunya saya ya Rick Jagger, bukan Satrio Rikanto,” ucapnya saat ditemui di Pendapa Sriwedari, Selasa (15/11/2011).

Lelaki yang juga menjadi Ketua Komunitas Rocks Surakarta (Kors) ini tak masalah jika dirinya dijustifikasi sebagai plagiat Mick Jagger. Baginya, yang terpenting adalah menyerap inspirasi positif dari tokoh yang diidolainya selepas SMA itu.

“Selain musisi, Mick Jagger adalah seorang pejuang. Ia memperjuangkan musik rock n roll agar diterima di tanah kelahirannya Inggris yang kala itu dikuasai musik-musik feodal kerajaan,” tuturnya.

Advertisement

“Kors itu lahir karena keprihatinan. Sampai sekarang, Kors tetap jalan terus meski harus merogoh kocek sendiri dalam berkegiatan,” ucap lelaki yang juga bekerja sebagai sub-kontraktor itu.

Meski sekarang dikenal sebagai pemersatu komunitas rock di Solo, kehidupan masa lalu ayah tiga putra ini tak sebaik yang dikira. Diakuinya, masa mudanya dulu banyak ia habiskan dengan kehidupan ala rockstar. Minum-minuman keras menjadi hal biasa saat dirinya berkumpul bersama kawan band-nya.

“Kalau ingat itu, rasanya saya ingin nangis. Saya kecewa dengan diri saya sendiri. Saking kecewanya, saat melihat wong mendem, saya bawaannya ingin ngampleng. Saya tak mau generasi muda jadi rusak seperti itu,” ucap Satrio yang mengaku insyaf kala menjalini hidup dengan pujaan hatinya, Aniek Tri Widayati, 16 tahun silam.

Advertisement

Saat ini, harapan terdekatnya adalah melihat komunitas rock di Solo bergandengan tangan. Ia selalu menyimpan mimpi atmosfer rock Kota Solo bisa kembali seperti tahun 1980-an.

“Kala itu, musik rock bisa diterima di mana saja termasuk di kampus. Kini hal itu belum sepenuhnya terwujud. Beberapa hari lalu saya mendengar konser rock di sebuah kampus di Solo gagal terwujud karena alasan tak jelas. Kenapa harus demikian?” tanyanya menutup pembicaraan.

(Chrisna Chanis Cara)

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif