SOLOPOS.COM - Penyair Widodo Basuki tampil membacakan karyanya saat penyelenggaraan Festival Sastra Jawa di Surabaya, Jumat (27/12/2019) malam. (Antara/Hanif Nashrullah)

Solopos.com, SURABAYASastrawan Jawa Trinil S Setyowati yakin Sastra Jawa akan terus bertahan di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Meski dengan peminat dari generasi muda era milenial yang sedikit jumlahnya.

Trinil S Setyowati mengatakan, peminat sastra Jawa memang sejak dulu tergolong minoritas. Namun, hal itu tak membuatnya khawatir sastra Jawa akan mati.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

"Peminat sastra bahasa Jawa sejak saya masih remaja dulu juga tergolong minoritas, meski belum ada penelitian tentang itu. Saya kira peminat sastra Jawa dari dulu memang sedikit," katanya saat ditemui di sela penyelenggaraan Festival Sastra Jawa di Surabaya, Sabtu (28/12/2019), seperti dikabarkan Antara.

Trinil yang juga pengajar di Universitas Negeri Surabaya itu tampil bersama sejumlah sastrawan Jawa lainnya yang pernah terkenal di tingkat nasional pada era 1980-1990-an. Para sastrawan seperti Budi Palopo dan Widodo Basuki, tampil membacakan sejumlah karya puisinya dalam festival yang digelar Dewan Kesenian Surabaya (DKS).

Trinil mengatakan, dulu beberapa teman dan kerabat terdekatnya menilai puisi berbahasa Jawa karyanya hanya untuk dibaca segelintir orang yang usianya sudah sepuh.

"Itu ada benarnya karena minat baca karya sastra yang berbahasa Indonesia saja dari dulu rendah, apalagi sastra berbahasa Jawa," sambung dia.

Wanita kelahiran Surabaya, 27 Juli 1965 itu mengaku sering menonton pertunjukan wayang dan ludruk, yang semasa kanak-kanaknya mendominasi dunia hiburan di Tanah Jawa. Dia sangat menyukai simbol-simbol dalam pertunjukan tersebut

"Saya suka dengan simbol-simbol dalam pertunjukan wayang dan ludruk. Pitutur Jawa dari pertunjukan-pertunjukan itu terdengar lembut dan indah. Itu mendorong saya untuk menulis puisi-puisi berbahasa Jawa," katanya.

Ada sejumlah media berbahasa Jawa, seperti Majalah Jaya Baya dan Penjebar Semangat yang menampung ide-ide karya puisi atau tulisan-tulisan untuk diterbitkan yang dikirim oleh generasi muda di eranya.

Sejumlah media berbahasa Jawa tersebut mendorong terjadinya regenerasi, yang terus melahirkan sastrawan Jawa hingga era 1990-an.

Sekarang era telah berganti. Majalah Jaya Baya dan Penjebar Semangat, meski sampai sekarang masih terbit, telah menjadi media konvensional, karena semakin tergerus oleh pesatnya perkembangan teknologi yang melahirkan media digitial, yang sangat digandrungi generasi milenial.

Sastrawan Jawa Widodo Basuki, yang juga bekerja sebagai redaktur di Majalah Jaya Baya, menyebut generasi muda yang mengirim tulisan-tulisan berbahasa Jawa ke medianya sejak beberapa tahun belakangan ini semakin menurun.

Peraih Hadiah Sastra Rancage 2000 lewat karya-karya kumpulan sajaknya Layang saka Paran itupun mengkhawatirkan regenerasi Sastrawan Jawa ke depan yang bisa jadi bakal terhenti. Tetapi, bagi Trinil, pesatnya perkembangan teknologi yang menghadirkan media digital justru tidak menjadi masalah.

"Itu justru bisa menjadi jalan untuk mengenalkan Sastra Jawa kepada generasi muda," katanya.

Menurut Trinil, saat ini butuh orang-orang yang peduli sebagai penggerak mengenalkan sastra Jawa lewat media sosial seperti Youtube, Facebook, Twitter dan lain sebagainya.

"Lewat media-media digital itu kita dorong generasi muda sekarang untuk mencintai bahasanya sendiri, menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Tidak ikut-ikutan pakai bahasa elu-elu gue-gue, karena kita orang Jawa Timur. Itu bisa terus diupayakan lewat media sosial," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya