SOLOPOS.COM - Suparno dan Ngatimin, eks pegawai Saripetojo menjadi tenaga satuan pengamanan (Satpam) sementara. (Aries Susanto)

Suparno dan Ngatimin, eks pegawai Saripetojo menjadi tenaga satuan pengamanan (Satpam) sementara. (Aries Susanto)

Solopos.com--Di luar pos jaga yang masih tersisa itu, Ngatimin duduk termenung. Tatapan matanya kosong. Ia seperti mengenang peristiwa 22 tahun silam ketika dirinya resmi diangkat menjadi seorang sopir di Pabrik Es Saripetojo.

Promosi Pegadaian Buka Lowongan Pekerjaan Khusus IT, Cek Kualifikasinya

“Saya sudah lama kerja di sini. Anak saya saja sudah lima,” katanya, Rabu (13/7/2011). Penghujung Mei 2011 barangkali adalah awal dari mimpi buruk itu. Pria kelahiran Jantirejo, Sondakan itu tiba-tiba menerima sepucuk surat dari Direksi Saripetojo. Dalam surat itu tertera bahwa ia bersama 40 karyawan lainnya bakal menerima uang pesangon untuk yang terakhir kalinya. Hati Ngatimin seketika gusar. “Kalau pabrik es ini tutup, lantas saya mau kerja di mana?” tanyanya.

Kegusaran Ngatimin pun kian bertambah berat. Sebab, satu-satunya rumah dinas tempat keluarganya berkumpul selama ini rupanya harus dikosongkan untuk sebuah rencana pembangunan mal. “Sekarang saya terpaksa ngontrak. Istri di rumah nganggur.”

Pria yang kini menjadi tenaga Satpam sementara itu sungguh tak menyangka bahwa rencana pembangunan mal di bekas tanah eks Saripetojo bakal menjadi polemik berkepanjangan. Ia menyadari betapa dirinya hanyalah pegawai rendahan biasa dengan pangkat terakhir 1E.

Maka, satu-satunya harapan yang terus berkelana dalam benaknya saat ini ialah kembali bisa mengenakan seragamnya dan bekerja untuk menghidupi kelima anaknya dan seorang istrinya. “Dulu saya dijanjikan akan dipekerjakan lagi jika mal telah jadi. Tapi, melihat situasi sekarang, rasanya…,” paparnya tanpa sanggup meneruskan kata-katanya.

Hari semakin siang. Mentari tegak di atas kepala. Di susul suara azan bersahutan dari kejauhan. Ngatimin pun bergegas melangkah ke musala mengambil air wudhu. “Kami itu sebenarnya hanya ingin bisa bekerja lagi. Itu saja. Kami semua nggak ngerti persoalan yang ramai ini,” sahut Suparno, rekan kerja Ngatimin.

Ngatimin, Suparno dan puluhan eks karyawan Saripetojo lainnya adalah potret ketakberdayaan bekas pegawai rendahan. Di tengah silang sengkarut Saripetojo yang serasa terus memanas, nasib mereka seperti terhempas di persimpangan jalan. Untuk menyambung hidup, mereka ada yang bekerja jualan nasi di samping proyek, menjadi Satpam, hingga tenaga lepas harian. “Tapi karena proyek terhenti, warung-warung juga nggak bisa jualan,” jelas Suparno.

Ngatimin dan para rekannya bukanlah akademisi, sejarawan, budayawan, pemangku jabatan, pengusaha, atau politikus yang berkepentingan dengan rencana pendirian mal itu. Namun, mereka sebenarnya ialah orang-orang yang telah merasakan secara langsung dampak dari polemik Saripetojo. “Kami bukannya mendukung pembangunan mal. Tapi, kami ini punya anak dan istri di rumah yang harus kami hidupi,” jelas Ngatimin.

Suara Ngatimin itu barangkali terlalu lirih di tengah keriuhan penolakan pendirian mal. Namun, itulah suara sejati Ngatimin, orang kecil yang harus berjuang menghidupi lima anak dan istrinya. “Kami berharap, apapun jadinya nanti, yang penting kami bisa bekerja lagi.”

(Aries Susanto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya