SOLOPOS.COM - Bekas Pabrik Es Saripetojo Solo kini tinggal puing-puing lantaran semua mesin dan bangunannya telah dilelang untuk rencana pendirian mal. (Aries Susanto)

Bekas Pabrik Es Saripetojo Solo kini tinggal puing-puing. (Aries Susanto)

Solopos.com–Sejarah dimulainya peradaban es itu tersembunyi di balik pagar seng berwarna biru tua. Lebih dari sebulan ini, pagar itu tertutup rapat. Hanya sesekali petugas security dan aparat keamanan wilayah setempat terlihat keluar masuk.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Dari mana, Mas?” tanya petugas dari balik celah pagar ketika Espos datang. Tak lama, aparat pun membuka pagar dan mempersilakan Espos masuk. “Ya, beginilah kondisinya,” jelas Ida Bagus Komang, salah satu polisi yang sehari-harinya berjaga di kawasan bekas Pabrik Es Saripetojo, Solo.

Dari depan pintu itu, nampaklah taman-taman yang mengering tersiram gas bahan pembuatan es. Tembok dengan batu bata ukuran raksasa roboh di tanah. Semuanya tinggalah puing-puing. Hanya sebuah musala dan rumah dinas di sudut pelataran yang terlihat masih utuh. “Rumah dinas itu, rencananya memang tak ikut dihancurkan,” kata Pangih Irianto, mantan manager Pabrik Es Saripetojo saat berbincang dengan Espos di kawasan Saripetojo, Rabu (13/7/2011).

Ya, Saripetojo kini memang tinggalah puing-puing. Pabrik es pertamakali di Soloraya itu seakan turut terkubur dalam pusaran zaman. Padahal, di tahun 1980-1990-an, ketika Saripetojo mencapai era keemasanya, tiap bulan tak kurang dari 80 ton es balok mampu diproduksinya. “Bahkan penjualannya tak hanya di kawasan Surakarta. Tapi sampai ke Pacitan, Ngawi dan Prambanan,” jelas Suparno, mantan operator mesin Saripetojo.

Namun, era modern memang menghendaki persaingan bebas. Awal tahun 1997-1998, ketika lemari es menjamur di mana-mana, Saripetojo mulai goyang. Lambat laun, usahanya mulai tak karuan. Jumlah produksi es terjun bebas dari 80 ton menjadi 20-an ton/ bulan. Upaya efisiensi pun dilakukan di semua lini. PBB dipangkas. Mesin-mesin produksi tak lagi ada pos peremajaan. Begitu pun kendaraan pengangkut es, juga dipangkas anggarannya untuk beli spare part. “Setelah itu, target keuntungan kami hanya dipatok 35 juta/ tahun. Toh, kadang tak tercapai juga. Biaya listriknya saja mencapai Rp 90 juta/ bulan,” jelas Panggih.

Hampir satu dasawarsa, masa kritis Saripetojo tak jua berlalu. Bahkan, di tahun 2007-2008, pabrik es dengan 40-an karyawan itu merugi ratusan juta rupiah. “Saat itulah, direksi terus berupaya untuk melepas Saripetojo kepada pihak ketiga,” katanya.

Selama didera masa kritis, Saripetojo pernah empat kali mau dijadikan usaha lain. Awal kali kolaps, Saripetojo pernah akan diganti dengan usaha hotel oleh pengusaha terkenal asal Solo, Setiawan Djodi. “Namun, belum sempat terlaksana, rencana itu nggak jelas lagi,” kata Panggih.

Tahun 2006-2007, pernah pula Saripetojo akan diganti dengan usaha Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) untuk menggantikan SPBU di depannya yang hampir habis kontraknya. Namun, lagi-lagi, menemui jalan buntu.

Usaha keras Direksi rupanya tak menyerah. Tahun 2009, Direksi akhirnya menjalin kerjasama dengan investor dari Surabaya untuk sebuah mal. “Tapi, sudah hampir deal, gagal lagi.”

Penghujung tahun 2011 barangkali adalah babak baru bagi sejarah Saripetojo. Sebab, ketika Saripetojo menemukan investor yang siap menjadikannya mal, pabrik es peninggalan Belanda itu justru menemukan masalah lagi. Belum ada tahu, bagaimanakah kisah selanjutnya Saripetojo itu…

(Aries Susanto)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya