SOLOPOS.COM - KOLEGA-Sardijono (ketiga dari kiri) bersama kolega Keluarga Besar Eks Tentara Pelajar SA CSA Surakarta/DIY, di kantornya, Sabtu (19/5). (Espos/Lutfiyah)

Espos/Lutfiyah

Rambut laki-laki berkaus abu-abu itu telah memutih. Kulitnya tampak keriput di sana-sini. Badannya sedikit membungkuk, jalannya pun pelan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Tapi, nada bicaranya masih tegas. Ia juga masih sanggup berkomunikasi dan melayani tamu yang datang ke Wisma Keluarga Besar Eks Tentara Pelajar SA CSA Surakarta/DIY.

Ekspedisi Mudik 2024

Seperti Sabtu (19/5) siang itu, ia terlihat telaten menerima tamu yang menemuinya untuk melunasi sisa pembayaran sewa kamar wisma. Dengan teliti, ia menerima dan menghitung tiga lembar uang berwarna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai. Uang senilai Rp150.000 di tangannya itu kemudian ia selipkan ke dalam kuitansi pembayaran.

“Semalam ada tamu keluarga yang menginap di sini (wisma) dan tadi baru melunasi pembayaran. Uang sewa ini nanti masuk dalam pembukuan wisma,” ujar laki-laki itu bertutur kepada Espos, Sabtu (19/5).

Wisma yang disebut laki-laki itu sekilas tampak seperti rumah. Tidak seperti wisma lainnya yang umumnya sedikit mewah, wiswa yang berada di Jl Raya Baturan Indah, kompleks Fajar Indah, Baturan, Colomadu, Karanganyar itu justru begitu sederhana dan apa adanya.

Tapi di wisma itulah laki-laki berusia 85 tahun itu menemukan kedamaian. Walau hidup menepi dari kehangatan keluarga, ia tidak pernah kesepian. Sebaliknya, tokoh veteran itu justru sangat bersyukur dan menikmati hari-hari tuanya dengan menjadi penjaga dan pengelola wisma.

Ia merupakan salah satu saksi hidup peristiwa pertempuran empat hari di Solo pada 1949. Peristiwa-peristiwa heroik yang terjadi pada zaman kemerdekaan juga masih sangat jelas tergambar dalam ingatannya.

KOLEGA-Sardijono (ketiga dari kiri) bersama kolega Keluarga Besar Eks Tentara Pelajar SA CSA Surakarta/DIY, di kantornya, Sabtu (19/5). (Espos/Lutfiyah)

Nama Sardijono mungkin tidak banyak tercatat dalam buku sejarah. Tapi, kiprah dan perjuangannya tidak bisa dipandang sebelah mata.

Saat usianya 17 tahun, darah perjuangan telah merasuk dalam sanubarinya. Semangatnya turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia begitu menggebu-gebu. Bersama pejuang lainnya, ia bergabung dalam aksi melucuti tentara Jepang dan turut serta dalam rencana penyerangan tentara Jepang di Bali.

Walau niatnya melucuti tentara Jepang di Bali batal lantaran lawan berkekuatan besar mencapai 40.000 orang, ia dan teman-temannya tidak menyerah. Sebaliknya, mereka kembali mempersiapkan rencana turut serta  dalam penyerangan ke Ambarawa.

“Pada peristiwa pertempuran Surabaya, saya juga ikut bergabung melawan tentara Inggris. Pidato Bung Tomo yang saya dengar di radio begitu berapi-api menyulutkan semangat saya dan pelajar lainnya,” katanya.

Seperti para pejuang lainnya, Sardijono akrab dengan desing peluru hingga meriam. Tidak ada kata takut dan tidak ada yang ia pikirkan saat itu selain ingin membantu berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia rela meninggalkan bangku Sekolah Teknik Negeri (STN) Solo.

Semasa perjuangannya, Sardijono sempat bergabung dengan pasukan Alap-alap. Ia juga menjadi salah satu pimpinan kelompok pasukan tersebut. Pada peristiwa serangan umum empat hari di Solo, pasukannya aktif bergerilya di bagian selatan Solo.

Pada saat Komandan Brigade V Divisi II, Letkol Slamet Riyadi, melakukan reorganisasi, ia dan pasukan Alap-Alap serta kesatuan bersenjata lainnya khususnya pelajar disatukan dalam wadah Corps Sukarela atau CSA. Tugas berat menanti pasukan CSA dan lainnya saat itu, apalagi Solo mengalami berbagai peristiwa.

“Kenapa CSA bukan CSR atau Corps Slamet Riyadi? Semua itu karena Letkol Slamet tidak ingin dikultuskan. Sikap itu menjadi pelajaran bagi saya dan teman-teman lainnya,” katanya.

Setelah Batalyon 55 Brigade V Divisi II terbentuk dengan memiliki empat kompi, Sardijono ditunjuk sebagai Komandan Kompi III dengan pangkat letnan satu. Pengangkatannya diakui secara resmi setelah ada demobilisasi dan saat itu ia tergabung dalam Batalyon 428 Brigade Q Divisi Diponegoro yang berkedudukan di Ungaran.

Setelah itu, karier dan pangkatnya di militer semakin menanjak dari mulai perwira Distrik Militer di Pemalang dengan pangkat kapten, Wakil Komandan Batalyon 440 di Ambarawa, Komandan Batalyon 452 di Bandungan berpangkat mayor hingga ditugaskan dalam operasi di Aceh pada 1961.

Di Aceh pula ia bertemu jodohnya, seorang pegawai Kejaksaan bernama Salman Adjam.

Setelah ditugaskan di Aceh, Sardijono dipindahkan ke Bali menjadi Komandan Kodim serta Kepala Staf Korem Singaraja, Bali dengan pangkat letnan kolonel.

Namun, perjuangan dan karier militernya berakhir di Bali. Pada 1966, ia dijebloskan ke penjara menjadi tahanan politik.

Ia merasakan dinginnya penjara di Bali selama 13 tahun. Sejak saat itu, kisah perjuangannya menguap bak debu hilang ditelan angin. Tak ada tanda jasa, bahkan di hari tuanya, ia sama sekali tidak pernah merasakan manisnya uang pensiun sebagai seorang veteran akibat kasus yang disangkakan padanya. Tapi ia sama sekali tidak kecewa, sebaliknya tetap bangga pada Tanah Airnya.

Pada momentum Kebangkitan Nasional ini, sebagian relung hatinya terusik dan merasakan miris serta prihatin lantaran kisah generasi muda dan para pelajar kini justru banyak diwarnai aksi tawuran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya