SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Prosesi pemakaman KH Zainuddin MZ yang disiarkan oleh hampir semua stasiun televisi menunjukan betapa murid KH Idam Khalid yang terkenal sebagai dai sejuta umat itu dicintai umat Islam dari berbagai kalangan. Mulai dari kalangan tokoh agama, pejabat, politikus, artis dan seniman, hingga masyarakat awam bahkan lintas agama merasa kehilangan.

Sosok Kyai Zainuddin memang dapat dikatakan belum ada duanya. Walaupun dalam dasawarsa terakhir ini kita melihat semacam KH Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym), Ustadz Jefri (Uje), KH Yusuf Manshur dan beberapa dai lain, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Pak Kyai memang memiliki kharisma tersendiri. Intonasinya dalam berceramah sangatlah khas. Pilihan katanya yang mudah dicerna dengan disertai joke-joke sangat menarik dan tanpa mengurangi bobot dan kekritisan beliau.

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Jika sesuatu atau seseorang kita anggap berarti, berharga, bahkan agung, kita akan merasa sangat kehilangan ketika harus berpisah, walaupun hanya sementara. Jika masih memungkinkan, kita pun akan berharap untuk berjumpa, menanti dan merindukan kedatangannya. Dan ketika kita telah bersamanya, kita akan memuliakannya, melakukan yang terbaik bersamanya.

Berpulangnya Kyai Zainuddin mengingatkan kita akan nasehat-nasehat beliau. Yang paling terasa saat ini adalah bahwa sebentar lagi kita akan memasuki bulan penuh rahmat dan ampunan, Ramadhan. Walaupun kita tidak dapat memastikan bahwa kita akan benar-benar berjumpa, namun paling tidak ibarat berlayar kita telah melihat jelas hamparan putih pantai di depan sana. Pertanyaanya adalah, apakah kita benar-benar bergembira, bersiap menyambutnya karena betapa kita telah lama merindukannya?

Ekspedisi Mudik 2024

Tahun lalu setelah mendengar nasehat KH Zainuddin misalnya, betapa kita lantang menyatakan kehilangan saat berpisah dengan Ramadhan. Kita juga berjanji akan setia menanti kedatangannya. Namun adakah demikian kenyataan sekarang?

Apapun jawaban jujur kita, yang sebaiknya kita lakukan sekarang adalah memanfaatkan sisa waktu yang serba terbatas ini untuk menepati janji kita. Sebagaimana kita ketahui, pada Ramadhan kita diwajibkan untuk berpuasa di siang hari. Sekalipun tidak wajib, namun ibadah lain seperti sholat tarawih, shalat malam, dan qiraah Al Quran juga dijanjikan pahala yang teramat agung. Sementara tidur kita pun dinilai ibadah. Namun, walaupun cukup terbantu dengan dibelenggunya setan, mudahkah kita menjalankan ibadah-ibadah tersebut tanpa bekal, persiapan dan latihan sebelumnya?

Siti Aisyah berkata, ”Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh selain pada bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa selain di bulan Sya’ban” (HR Bukhari Muslim). Para pendahulu kita bahkan menekankan persiapan dilakukan sejak bulan Rajab. Mereka mengibaratkan Rajab adalah masa tanam, Sya’ban adalah masa rawat, sedangkan di bulan Ramadhan kita tinggal menuai manisnya ibadah.

Memang patut disayangkan syair berisikan doa “Allahumma bariklana fi rajaba wa sya’bana, wa ballighna ramadhana waghfirlana dzunubana,” sudah tidak terdengar lagi di surau-surau menjelang jamaah salat karena dianggap bid’ah. Padahal sebenarnya cukup efektif mengingatkan kita yang mudah lupa ini.

Jika kita tidak berlatih puasa maka yang terjadi kemudian justru ironis. Untuk menyiapkan menu berbuka saja kita bela-belain ribut sejak siang bagaimana berbuka dengan aneka menu, kadang dengan dalih bahwa menu istimewa tersebut untuk memuliakan Ramadan. Benarkah? Bukankah sebenarnya tak lebih untuk memuliakan nafsu kita.

Akibat lain adalah menurunnya produktivitas. Tidur kita memang ibadah,  tapi bukan berarti ibadah kita adalah tidur. Para pendahulu kita sering mendapatkan kemenangan dalam mempertahankan tegaknya kalimat Allah justru pada bulan Ramadhan. Dan mereka berpuasa dengan bekal seadanya waktu itu. Tidak ada es kelapa muda, rumput laut atau koktail, tidak pula multi vitamin, susu, dan madu saat berbuka atau makan sahur. Tak lain karena terbiasa dengan iman serta rasa cinta sebagai modalnya.

Tidak hanya berpuasa saja, namun ibadah lain juga memerlukan latihan. Yang tidak terbiasa tadarus misalnya, tentu akan mudah pedih matanya ketika harus menyelesaiakan target mengkhatamkan Al Quran. Salat sunah juga terasa berat sehingga memilih yang sedikit jumlahnya atau memilih yang banyak namun tanpa menghiraukan kekhusyukan.

Yang tidak boleh kita lupakan adalah mengetahui hukum-hukum dan aturan yang berkaitan dengan puasa Ramadhan. Sebelum Ramadhan, yang perlu saya ingatkan untuk puasa Sya’ban terdapat beberapa ketentuan. Jangan menjalankan puasa pada setengah akhir/paruh kedua bulan Sya’ban tanpa menyambungnya dengan hari sebelumnya. Misalnya hanya puasa tanggal enam belas saja. Kecuali jika Anda sudah rutin membiasakan puasa semacam Senin-Kamis, puasa Dawud (sehari puasa sehari tidak), atau sehari puasa dua hari berbuka, maka tidaklah mengapa menjalankan puasa pada hari-hari yang termasuk paruh kedua bulan Sya’ban.

Semoga kita terberkati di sisa hari bulan Sya’ban ini dan dikaruniai panjang umur sehingga dapat menjumpai bulan suci Ramadhan. Amin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya