SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (8/4/2019). Esai ini karya Muhammad Milkhan, anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Klaten dan pengelola Langgar Soeka Batja di Delanggu, Kabupaten Klaten. Alamat e-mail penulis adalah milkopolo@rocketmail.com.

Solopos.com, SOLO — Sekumpulan anak muda tertawa riang gembira,  saat salah satu di antara mereka melontarkan pelesetan singkatan nama resmi lembaga negara. Arti singkatan itu mereka terjemahkan sesuka hati, sesuai dengan gaya dan kepribadian mereka.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

KPU yang aslinya Komisi Pemilihan Umum bagi mereka bermakna rayuan untuk gadis pujaan. Jurkam yang aslinya juru kampanye dan identik dengan sosok yang kerap melontarkan kalimat dengan nada heroik penuh militansi politis mereka reduksi maknanya menjadi singkatan bernuansa asmara kaum muda.

Tak ada yang marah atau menyeret mereka ke meja hijau karena ulah sembrono memelesetkan idiom-idiom resmi negara yang lekat dengan urusan politik di negeri ini. Adegan sekumpulan anak muda itu dapat kita jumpai dalam iklan salah satu permen edisi pemilihan umum. Iklan permen dalam rangka menyambut hajatan demokrasi. Iklan itu ditayangkan berulang kali setiap hari di televisi.

Pembuat iklan sadar momentum penting pemilihan umum serentak yang akan berlangsung pada 17 April 2019 cukup menyedot perhatian masyarakat. Muncullah ide pembuatan iklan permen bernuansa ”politis” itu sembari berharap permen laku keras di pasaran dengan mendompleng popularitas pesta demokrasi.

Urusan politik di negeri ini masih kerap mengundang ketegangan emosi yang kemudian menyebabkan muncul kecurigaan, fitnah, caci maki, kabar bohong, serta hal negatif lainnya antarmasing-masing pendukung calon pemimpin atau calon wakil mereka di parlemen. Iklan permen edisi pemilihan umum seolah-olah menjadi oase di tengah memanasnya suhu politik di negeri ini.

Perang Kata Minim Etika

Kerap kita menjumpai perdebatan antarpendukung calon presiden membuat suasana media sosial seperti perang kata minim etika yang mengumbar fanatisme buta yang berujung pada perdebatan dan saling mencela.

Iklan permen edisi pemilihan umum jadi sindiran telak bahwa pemilihan umum tak melulu harus disikapi dengan sentimen berlebih yang melahirkan fanatisme buta disertai kata-kata penuh umpatan.

Politik juga dapat dimaknai dengan kata-kata yang mengundang canda tawa penuh suka cita. Barangkali kita masih belum cukup dewasa menyikapi perbedaan hingga kita lebih sibuk mengalahkan dan menyalahkan pihak lain tanpa pernah sempat meluangkan waktu untuk sekadar instrospeksi diri.

Dalam urusan politik, kita mungkin masih cukup ingusan untuk memaknai ada pilihan yang berseberangan sebagai hikmah dari iklim demokrasi yang mencerahkan. Yang berbeda lantas kita anggap sebagai lawan yang berbahaya, bukan lagi kawan sepermainan yang memiliki sudut pandang politik berbeda.

Layaknya lawan, harus dikalahkan dengan berbagai cara. Tak jarang muncul ide menyerang lawan dengan kata-kata yang jauh dari etika dan kebenaran. Kita kini menyebut sebagai hoaks. Berita-berita di berbagai media juga kerap memunculkan informasi berkaitan dengan banyaknya pembuat dan penyebar hoaks pada musim politik seperti sekarang ini.

Persebaran hoakas begitu cepat di berbagai lini digital. Mungkin juga sesekali berita hoaks hadir di layar telepon seluler kita. Pandangan politik kita seirama dengan berita hoaks tersebut, lantas tak jarang kita memilih turut andil menyebarkan hoaks politis tersebut kepada karib kerabat di sekitar kita, baik di dunia maya maupun dunia nyata.

Muncullah perdebatan minim etika nir logika di kolom komentar media sosial yang justru hanya akan merendahkan martabat demokrasi yang selama ini kita pilih sebagai jalan membangun bangsa dan negara.

Potret Pertengkaran Anak-Anak

Barangkali benar apa yang disampaikan Abdul Munir Mulkhan (2003) bahwa dinamika politik di negeri ini masih  sebatas potret pertengkaran anak-anak kecil di pinggir jalan yang berebut benar sendiri tanpa kepastian etik-rasional.

Pihak yang kepentingannya tidak terakomodasi mengartikan sebagai kesalahan pihak lain. Politik menjadi cermin benar dan salah, halal dan haram, dosa dan pahala, bukan suatu ”permainan kompromi” bersumber etika kolektif dari tindakan rasional guna mencari dukungan mayoritas dengan meyakinkan pihak yang lain.

Etika kolektif yang terbangun dari rasa tanggung jawab atas kesuksesan jalannya sistem demokrasi di sebuah bangsa seharusnya menjadi semangat bersama untuk tak lagi saling mencela sebab pilihan politik yang berbeda. Sebaliknya, kolektivitas untuk menciptakan hoaks dengan ucapan dan tindakan yang tidak rasional dan tidak bertanggung jawab demi memuluskan ambisi politik hanya akan membuat sistem demokrasi yang kita junjung tinggi ini tak kunjung beranjak dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang seperti yang selama ini dicita-citakan para pendiri bangsa.

Bung Hatta (1957) pernah mengingatkan bahwa demokrasi hanya bisa berjalan apabila didukung oleh rasa tanggung jawab. Tidak ada demokrasi dengan ketiadaan tanggung jawab. Demokrasi yang melewati batas dan meluap menjadi anarki akan menemui ajal dan  digantikan sementara waktu oleh diktator.

Anarkisme yang menjadi kekhawatiran Bung Hatta juga bisa bersumber dari merebaknya hoaks di tengah masyarakat. Hoaks yang terus diproduksi dan didistribusikan akan menjadi provokasi untuk menciptakan tindakan anarki pula. Iklim politik yang makin memanas akan lebih memudahkan pencipta hoaks memanfaatkan situasi untuk membuat keruh suasana pesta demokrasi.

Arena pesta akan berubah menjadi arena perdebatan tidak sehat antarsimpatisan politik sebab masing-masing dari mereka hanya mengedapankan ego untuk saling menyalahkan dan mengalahkan, bukan saling mengingatkan akan rasa tanggung jawab atas berjalannya pesta demokrasi yang mencerahkan. Lantas jika hal ini semakin masif terjadi, kita perlu lekas membuat nisan demokrasi sebab demokrasi semakin dekat dengan ajalnya.

Layaknya sebuah pesta, penting bagi kita sebagai peserta pesta untuk menyambut kehadirannya dengan penuh suka cita. Pesta demokrasi merupakan hajatan bersama seluruh rakyat yang pantas untuk kita rayakan. Kehadirannya senantiasa kita rindukan, maka perlu kita sambut dengan perasaan riang gembira, layaknya para pemuda di iklan permen edisi pemilihan umum. Semoga.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya