Khazanah
Jumat, 27 April 2012 - 21:29 WIB

Saleh Sosial Fondasi Kemaslahatan

Redaksi Solopos.com  /  Nadhiroh  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi, KEMISKINAN--Seorang pemulung sedang beristirahat di kawasan City Walk Jl Slamet Riyadi belum lama ini. Minimnya kesalehan sosial di masyarakat membuat tingkat kemiskinan masih tinggi. (Dwi Prasetya/JIBI/SOLOPOS)

Ilustrasi, KEMISKINAN--Seorang pemulung sedang beristirahat di kawasan City Walk Jl Slamet Riyadi belum lama ini. Minimnya kesalehan sosial di masyarakat membuat tingkat kemiskinan masih tinggi. (Dwi Prasetya/JIBI/SOLOPOS)

Agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk berkomunikasi secara rohani dengan Tuhan. Agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya.

Advertisement

Konsep ini berimplikasi bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah. Hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi isu utama manusia.

Agama tidak hanya berdimensi ritual-vertikal (hablum minallah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minannas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality).

Advertisement

Agama tidak hanya berdimensi ritual-vertikal (hablum minallah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minannas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality).

Namun, yang terpenting dari itu adalah perwujudan iman tersebut dalam kesalehan sosialnya. Anggota Staf Seksi Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren dan Pendidikan Agama Kepada Masyarakat (PK Pontren dan Penaas) Kemenag Solo, Charis Muanis, menuturkan saleh berasal dari kata sholuha-yashluhu-shulhun-sholeh-mashlaha. Sholuha  berarti tepat guna. Minimal ada tiga orientasi yang tidak bisa dipisah terkaih ”saleh”.

Pertama, saleh sebagai faktor pengabdian kepada Allah SWT. Dari aspek niat akhirnya menciptakan tulus, ikhlas dan pengabdian lillah.

Advertisement

”Saleh pribadi itu kurang ideal. Dia sudah punya niat tapi belum ada implementasi,” imbuh Charis saat ditemui Solopos.com di kantornya, Rabu (25/4/2012).

Ketiga, islah. Orang yang saleh pasti akan selalu memperbaiki diri dan mengevaluasi diri untuk meningkatkan kualitas diri. Jika sudah demikian akan muncul pribadi yang namanya muslih atau orang yang membawa kebaikan.

”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS Al A’raf: 56).

Advertisement

Orang saleh itu, lanjut Charis, adalah orang yang dinamis karena selalu mengevaluasi diri dan terus berupaya memperbaiki diri. Syariat itu sudah sempurna. Menjadi manusia yang ideal berarti bisa mengimplementasikan syariat tersebut.

Dia mencontohkan banyak orang berwudu, salat dan beribadah haji berkali-kali namun tanpa penghayatan. Dalam wudu sebenarnya banyak makna yang terkandung. Wudu tidak sekadar membasuh tangan, berkumur, mengusap kepala dan sebagainya.

Pengorbanan

Advertisement

Membasuh tangan mengandung maksud menyucikan perbuatan, berkumur menyucikan perkataan agar tidak menyakitkan dan berkata yang baik, mengusap kepala untuk menyucikan pikiran dan lain-lain.

Penyuluh di Kemenag Karanganyar, Zuhaid, mengemukakan kiat–kiat sederhana memanifestasikan kesalehan individu menjadi kesalehan sosial. Antara lain,  meyakini terlebih dahulu menjadi saleh sosial merupakan perintah Allah dan kemudian berani berkorban.

”Mengamalkan sesuatu itu butuh pengorbanan. Setelah niat kemudian siap berkorban. Seperti zakat. Kita berniat zakat dan dalam pandangan kita sepertinya harta itu berkurang tapi Allah berjanji akan membalasnya. Mengeluarkan harta itu paling berat,” jelas Zuhaid saat ditemui Solopos.com kantornya, Selasa (24/4/2012).

Zuhaid mengatakan Allah berjanji akan memberikan balasan seperti di dalam firman-Nya: ”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah: 261).

Balasan yang diberikan-Nya ada yang  bersifat langsung dan ada yang ditunda. Balasan itu pun tak selamanya berupa materi. Suatu ketika, lanjut Zuhaid, ada orang yang bertanya kepada dirinya karena sudah sedekah tapi belum ada balasan.

”Saya sampaikan kepada orang itu bahwa jangan selalu berpikiran balasan itu berupa materi. Sehat dan bisa berjalan itu sebuah nikmat. Coba saja kalau tidak bisa berjalan berapa yang harus dikeluarkan untuk berobat. Anak pun bisa menjadi rezeki. Berapa banyak orang yang berusaha agar punya anak?” jelasnya.

Zuhaid mengemukakan menjadi mukmin dan muslim yang baik berarti menjadi golongan orang-orang yang beradab. Itu artinya mengikuti Allah dan Rasul-Nya. Mereka yang tidak beradab berarti tidak punya etika, tidak punya sopan-santun dan tidak berakhlak. Padahal Alquran mengajarkan akhlak.

”Apabila umat Islam dalam mencari ilmu sudah bagus dan dilaksanakan, mau membaca dan menulis, kultur akan terbentuk. Bagaimana mau membangun peradaban kalau kita belum mempunyai adab Islam yang ideal?” terangnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif