SOLOPOS.COM - ayam

LARIS -- Para karyawan RM Ayam Geprek Sragen tengah melakukan berbagai aktivitas. (JIBI/SOLOPOS/Tri Rahayu)

Mendengar namanya sudah unik, yakni ayam geprek. Sebuah nama yang diambil dari istilah Jawa digeprek atau dipukul dengan alat tertentu. Menu makanan ayam kampung ini rasanya memang khas. Apalagi bila dimakan dengan sambal korek dan lalapan daun pepaya rebus serta irisan mentimun. Nuansa sambal yang pedasnya membuat pelanggan jadi huhah …. huhah … ketagihan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hargnya pun terjangkau, Rp 14.000/porsi. Namun bukan hanya kelezatan hidangan ini yang membuatnya khas. Ternyata dengan bertandang dan makan di rumah makan di Jalan Ahmad Yani Sragen ini, pengunjung secara otomatis bersedekah. “Kami memang sengaja menyisihkan uang Rp 1.000/ekornya untuk sedekah bagi kaum fakir miskin. Dalam sehari bisa memotong sampai 150 ekor. Sedekahnya tinggal mengalikan saja,” ujar Manager Ayam Geprek, Kusnadi Ihwani.

Di samping rasa bumbunya yang nendang dan empuk, ayam kampung buatan Kusnadi ini diproses dengan sistem hazard analysis critical control process. Sistem berstandar WHO, yakni proses pemotongan ayam yang benar dengan teknik mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan bahaya yang signifikan dalam keamanan pangan. Sistem inilah yang memberi nilai lebih bagi produk ayam geprek. Maka tidak aneh bila dalam jangka waktu satu tahun, Rumah Makan Ayam Geprek ini mampu membuka lima cabang di berbagai daerah di Soloraya. “Bulan depan kami akan membuka cabang di Purbalingga,” ujarnya.

Pembumbuan ayamnya harus melalui proses selama satu malam dalam almari es dengan suhu minus 20 derajat Celsius agar bumbu meresap. Ayam yang telah dipotong, kata Kusnadi, tidak boleh dibiarkan dalam udara normal selama dua jam karena pertumbuhan bakteri patogen akan sangat cepat. Dalam waktu dua jam itu, bakteri bisa berkembang sampai 1.000 bakteri. “Makanya setelah dipotong dengan teknik yang baik dan bersih langsung dimasukkan ke dalam lemari es. Hal ini menjadi ciri khas yang mebedakan dengan produk lainnya,” imbuhnya.

Tenaga yang dibutuhkannya pun relatif banyak. Kusnadi membutuhkan enam orang tenaga di produksi, yakni empat orang di pemotongan dan dua orang di produksi. Sedangkan di resto dibutuhkan tujuh orang untuk pelayanan pelanggan. “Awal-awal omzetnya sekitar Rp 1,5 juta-Rp 2 juta/hari. Dengan promosi yang gencar, sekarang omzetnya antara Rp 3juta-Rp 5 juta/hari. Modalnya cukup lumayan, yakni sekitar Rp 40 juta-Rp 100 juta, tergantung luas usahanya,” tambahnya.

Tri Rahayu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya