SOLOPOS.COM - Sri Sultan Hamengku Buwono X

Melihat betapa parahnya korupsi yang merasuk ke semua bidang, terlebih lembaga tinggi negara baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif sangat berpotensi menyebabkan rakyat terbenam pada ketidakpercayaan akut yang sulit dipulihkan. Padahal faktor kepercayaan sungguh mutlak diperlukan bagi penyelenggara negara yang baik.
Karena kepercayaan mengandalkan adanya saling pengenalan. Rakyat percaya kepada penyelenggara negara jika para pejabatnya mengenal apa yang ada di dalam pikiran dan pengalaman rakyat. Jika mereka tidak mau mengenali aspirasi itu, rakyat bisa semakin terpuruk dalam krisis kepercayaan.

Rakyat kehilangan kepercayaan, apakah lembaga negara masih mau mendengar keluhan dan kesulitan mereka tentang mahalnya harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari untuk kemudian mau segera melakukan usaha untuk mengatasinya.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Menurut ajaran Jawa kepercayaan itu sungguh penting sebagaimana ungkapan “Kelangan sakehe raja brana ateges ora kelangan apa-apa, kelangan nyawa iku tegese mung kelangan separo, kelangan papercayan iku tegese kelangan sakabahe (Kehilangan semua harta benda berarti tidak kehilangan apa-apa, kehilangan nyawa artinya hanya kehilangan separuh, tetapi kehilangan kepercayan itu berarti kehilangan segala-galanya)

Jika tidak dapat dipercaya, kita akan kehilangan kemanusiaan kita. Itu artinya kehilangan segalanya, kendati harta melimpah dan rangkap nyawa.

Tentang vitalnya kepecayaan ini bahkan sudah dibahas dalam dialog antara Confusius dengan muridnya. Konon di suatu saat muridnya menanyakan tentang faktor apa yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan negara, Confusius menjawab tiga syarat pokok: kecukupan sandang pangan, tentara yang melindungi rakyat dan kepercayaan rakyat. Si Murid mengajukan pertanyaan berikutnya: bagaimana jika seandainya hanya memiliki dua, maka faktor apa yang boleh diabaikan? Sang Guru  menjawab: faktor tentara bisa ditinggalkan. Si Murid mendesak lagi dengan pertanyaan: jika ada satu faktor saja, lalu apa jadinya? Jawaban Sang Guru adalah: bahwa faktor sandang pangan sementara bisa diabaikan dulu, karena kekurangan sandang pangan bisa saja terjadi, tetapi dalam sejarah belum ada pemerintahan bisa bertahan tanpa adanya kepercayaan rakyat.

Dari dua ilustrasi tersebut jelaslah bahwa kepercayan rakyat mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan negara. Sebuah negara meski tidak sepenuhnya demokratis tetapi bisa berjalan, jika para penyelenggara negara dapat menjaga kepercayaan rakyat di mana kebijakan-kebijakan selalu ditujukan demi sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Artinya, para elite negeri itu  mampu “membaca” dan “mengelola” kehendak rakyat sehingga bisa “memperoleh” dan “merebut” kepercayan rakyat karena bisa “mencuri” hati rakyat.

Demikian juga dalam hal demokrasi. Tujuan utamanya tetaplah untuk kesejahteraan rakyat. Tanpa hasil itu maka demokrasi tidak akan ada maknanya.

Mari berkaca pada apa yang terjadi di Amerika Latin. Ada tiga tokoh yakni mendiang Hogo Chavez, mantan Presiden Venezuela, Presiden Bolivia Evo Moralez dan juga Fidel Castro, mantan Presiden Kuba.
Kita bisa mengutip sepenggal pidato Chavez. ”Kita tidak ingin menjadi negara yang menindas hak hidup buruh dan anak serta melukai martabat manusia. Kita tidak mau jadi negara yang hanya memikirkan untuk menaikkan pendapatan, kita musti jadi negara yang memprioritaskan kehidupan rakyat.”

Evo Moralez juga mengucapkan hal senada ”Kita harus mendirikan negara yang bermartabat, negeri di mana rakyat yang miskin dilindungi, dihargai dan dimuliakan.” Betapa agung pidato itu kalau yang mengucapkan adalah elite negeri ini. Padahal kedua Presiden itu memerintah di suatu negeri yang tidak sepenuhnya berasaskan demokrasi tetapi menganut neo-sosialisme.

Tokoh-tokoh di atas populer karena pembangkangannya pada tirani modal internasional. Tanpa gelar akademik yang tinggi dipenuhinya kesejahteraan rakyat. Ketiganya tahu kalau urusan pendidikan, tempat tinggal dan kesehatan adalah tugas pokoknya. Juga mereka paham bagaimana sejarah penindasan Amerika yang menyedot potensi terbaik di Amerika Latin. Tak diindahkannya semua nasihat Bank Dunia, IMF juga PBB. Mereka menyusun kekuatan tandingan, ”Berserikat antarsesama pemimpin sosialis dan membangun pakta ekonomi sendiri. Kuba, Bolivia, Venezuela dan Argentina membuat stasiun televisi sendiri. Mereka berusaha meredam pengaruh. Siaran dari negeri kapitaslis waktunya dirobohkan. Peperangan bukan hanya dengan semburan kata melainkan lewat pertarungan media.

Hasilnya, Kuba hingga saat ini memiliki relawan kesehatan tertinggi di dunia. Angka literacy Bolivia mengalahkan negeri maju sekalipun. Sedang Venezuela memiliki jaminan keluarga yang lebih baik ketimbang Eropa. Banyak yang mengatakan Amerika Latin memasuki zaman pencerahan. Bayangan tentang kemiskinan yang mencekik diatasi dengan industri yang berbasis nasional. Industri raksasa yang sahamnya dikuasai dan dimiliki oleh rakyat. Kesehatan yang buruk dipecahkan melalui fakultas kedokteran yang gratis; asurasni kesehatan untuk seluruh rakyat; rumah sakit berbasis tanggung jawab. Sebaliknya kenyataan buram di Indonesia membuat kita semua terdiam dan kemudian hanya bisa tercenung lama. Kita mungkin hanya bisa mimpi: menikmati pendidikan gratis, sampai siaran televisi yang sehat.

Begitulah negara yang berada di tangan ”pemimpin”. Pemimpin tidak sekadar memenangkan suara, tetapi nurani. Demokrasi di manapun adalah suatu proses. Dia bukan suatu given for granted. Tak terkecuali Indonesia. Di negeri ini demokrasi politik masih butuh waktu panjang, terlebih jika dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan rakyat. Kita masih perlu belajar banyak dan memperbaiki banyak hal untuk bisa mewujudkan demokrasi bersamaan dengan kesejahteraan rakyat. Kita bisa memperoleh keduanya. Sayangnya kenyataan pahit menunjukkan kita justru belum memperoleh keduanya. Kita tidak memperoleh demokrasi dan tidak memperoleh kesejahteraan. Demokrasi tidak, kesejahteraan pun juga tidak.

Kita harus terus bangkit dan memperjuangkan demokrasi dengan penegakkan hukum dan keadilan secara nyata serta memperbaiki kehidupan kepartaian dengan menampilkan politisi yang berkarakter, berbudaya, bertanggung jawab dan punya rasa malu. Kita harus menegaskan kembali Tri Sakti Jiwa Proklamasi: Mandiri di politik, ekonomi dan sosial budaya!

Sri Sultan Hamengku Buwono X

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya