SOLOPOS.COM - Ilustrasi kenduri saat bersih desa. (trenggalekkab.go.id)

Solopos.com, SOLO—Menyinggung toleransi, dalam bayanganku adalah keberagaman yang kutemui sejak kecil. Saat aku kecil, bersama teman-teman, kami biasa mendatangi tempat kenduri.

Biasanya kami mendapat satu pincuk nasi berlauk daging dengan sedikit kuah berwarna kuning. Kami mendapat nasi gulai. Jadi, tiap kali mendengar kata suran, kami akan beramai-ramai menuju tempat yang ada sepincuk nasi gulainya itu. Sejujurnya, kami tidak tahu acara apa itu karena kami tidak pernah bertanya. Yang kami tahu ada makanan ringan dan juga sepincuk nasi gulai yang bisa kami santap saat kami datang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Beranjak dewasa, akhirnya kami tahu bahwa acara itu adalah acara bersih desa suran yang selalu digelar di dusunku setiap Bulan Sura. Acara tersebut digelar setahun sekali. Di tengah kecanggihan teknologi yang semakin maju, zaman yang telah banyak berubah, sejumlah tradisi di berbagai wilayah di Indonesia masih dilestarikan. Salah satunya tradisi bersih desa suran itu.

Di dusunku, Dusun Kalongan, Desa Matesih, Kecamatan Matesih, Karanganyar, tradisi ini masih dipertahankan. Nah, bagaimana tradisi ini bertahan? Salah satu syaratnya adalah toleransi.

Tradisi bersih desa banyak dilakukan di berbagai wilayah di Jawa. Namun, yang menarik di Dusun Kalongan ini, pelaksanaannya yang sangat simpel dan sederhana. Yang penting adalah kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan warga dusun tetap terpelihara. Begitu menurut Widodo selaku Kepala Dusun.

Dusun Kalongan adalah dusun asri dengan pohon beringin besar dan rindang bak payung hidup. Dusun di jantung Desa Matesih ini punya pasar dan terminal bus. Pasar menjadi sumber warga dan masyarakat sekitar mencari nafkah, sementara terminal melayani transportasi untuk jurusan antarkota dalam provinsi dan juga antarkota antarprovinsi.

Dusun Kalongan tidak terlalu luas, hanya 69.000 meter persegi dengan kepadatan penduduk yang tinggi, terdiri atas satu RW dengan tiga RT yang masing-masing RT dihuni 60 keluarga. Masyarakat penghuni dusun memiliki beragam kepercayaan.

Ada empat rumah ibadah, dua masjid, dan dua gereja yang saling berdekatan. Selain itu, juga masih ada beberapa penduduk yang menganut aliran kejawen. Namun, mereka hidup rukun berdampingan dari waktu ke waktu.

Apabila Anda mendatangi dusun dengan naik kendaraan umum, begitu turun dari bus, Anda akan disuguhi rindangnya pohon beringan besar yang usianya diperkirakan ratusan tahun. Pohon beringin yang berdiri kokoh itu seperti gerbang masuk dusun yang mengucapkan selamat datang kepada siapa pun yang berkunjung.

Pohon kokoh itu dulunya berada di dalam pasar. Namun, dengan adanya renovasi pasar, pohon itu sekarang berada di luar pasar. Malah sekarang bagaikan gapura.

Di bawah pohon beringin tua itulah kami sering bermain saat masih kecil dulu. Bandulan, permainan yang sering kami lakukan, bertopang pada akar-akar sulur yang menjulur dari atas pohon. Akar-akar itulah yang biasa kami gunakan untuk berayun.

Kami juga sering naik pohon yang tingginya lebih dari 10 meter dengan diameter sekitar 2 meter itu. Walaupun pohonnya sangat besar, namun kami bisa naik ke atas pohon dengan mudah.

Kami akan memanjat melalui jalur celah di dalam pohon, bentuknya berupa terowongan ke atas, mirip sebuah tangga. Namun, saat pohon beringin makin tua, terowongan yang ada di tengah batang sekarang tertutup akar sulur yang tumbuh makin subur.

Eyang Wongsopati

Selain pasar dan pohon beringin besar sebagai gerbang masuk, di dusun ini ada juga sebuah makam yang dikeramatkan. Penduduk menyebutnya dengan nama “pelas”. Konon makam itu merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit. Makam itu adalah makam Eyang Wongsopati yang diyakini masyarakat sebagai cikal bakal Dusun Kalongan, leluhur Dusun Kalongan. Dia merupakan orang pertama yang membuka Dusun Kalongan. Makam itu terletak di ujung utara dusun.

Setiap tahun, di dusun ini selalu diselenggarakan suatu tradisi bersih desa yang biasa disebut dengan istilah Suran. Istilah Suran disebabkan pelaksanaannya selalu pada Bulan Sura. Perayaan itu biasanya dilakukan pada Jumat Legi atau Jumat Pahing Bulan Sura. Tujuan kegiatan ini adalah sebagai ungkapan syukur warga atas keselamatan dan kesejahteraan untuk penghuni dusun. Selain itu, tradisi suran mempunyai tujuan yang tersirat, yaitu kebersamaan, kekeluargaan, dan kegorongroyongan antarwarga Dusun Kalongan tetap terjaga.

Sebagaimana tradisi bersih desa yang dilaksanakan di beberapa daerah, kegiatan ini biasanya diawali dari sebuah cerita rakyat yang diyakini masyarakat setempat. Tidak seperti tradisi yang dilaksanakan di daerah lain yang memakan waktu berhari-hari sebelum acara dimulai, di Dusun Kalongan tidak demikian.
Tidak ada berbagai macam ritual atau persiapan penyambutan yang membutuhkan banyak sesaji. Tidak ada iring-iringan sesepuh kampung yang diikuti sesajian yang dibawa ibu-ibu ataupun warga lain untuk menuju tempat perayaan. Jadi, secara tradisi memang belum menarik wisatawan atau untuk sebuah peliputan.

Prosesi tradisi suran yang dilaksanakan di Dusun Kalongan benar-benar sederhana. Pada pagi hari, warga berkumpul di makam Eyang Wongsopati untuk berdoa. Acara lalu dilanjutkan dengan penyembelihan kambing dan diakhiri dengan makan bersama. Masih pada hari yang sama, siang menjelang sore tepatnya, warga berkumpul kembali. Namun, tempat kumpulnya adalah di pasar. Kegiatannya adalah doa bersama dan menyembelih kambing lagi yang diakhiri dengan makan bersama. Kambing yang disembelih sebanyak dua ekor, satu ekor disembelih di makam pelas, dan satu ekor disembelih di pasar.

Untuk pelaksanaan Jumat Legi atau Jumat Pahing, biasanya diambil pada hari yang ada di Bulan Sura tahun itu. Meski demikian, penyembelihan di pasar seringnya dilakukan pada sore hari karena pada pagi hari pasar masih digunakan untuk kegiatan perdagangan. Kegiatan itu diakhiri dengan mengubur kepala dan kaki kambing yang telah disembelih di tengah perempatan jalan masuk dusun.

Tradisi suran di pasar juga mengekspresikan bentuk rasa syukur masyarakat Dusun Kalongan. Pasar di dusun telah memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat Kalongan serta masyarakat di luar Kecamatan Matesih, seperti dari Jumantono, Karangpandan, Tawangmangu, dan juga Mojogedang yang telah mempunyai usaha di pasar itu.

Selain itu, masyarakat Dusun Kalongan punya keyakinan para pendahulu dalam berjuang melawan penjajahan Belanda bermarkas di pasar. Untuk menghormati perjuangan itulah maka diadakan penyembelihan seekor kambing di pasar.

Sementara, penyembelihan satu ekor kambing di pelas merupakan bentuk penghormatan kepada Eyang Wongsopati yang diyakini oleh masyarakat setempat sebagai luluhur masyarakat Kalongan. Sebagai orang yang kali pertama membuka Dusun Kalongan, Eyang Wongsopati didoakan agar mendapat pengampunan dari Tuhan. Warga juga berterima kasih kepada sosok tersebut.

Seperti yang sudah saya tulis di awal, salah satu syarat agar tradisi ini bisa terus berjalan adalah adanya rasa toleransi. Namun, pada suatu saat, muncul sekelompok warga yang memprotes dan tidak setuju apabila kepala dan kaki kambing itu ditanam. Mereka bertanya kenapa kepala dan kaki kambing tidak sekalian dimasak agar tidak mubazir.

Pergeseran

Di antara para pemrotes itu, sebagian masyarakat tetap menginginkan kepala dan kaki kambing ditanam sebagai bentuk persembahan kepada “danyang” dusun. Pada saat itu, perdebatan tidak bisa dihindari. Antara mereka yang berkeinginan kepala dan kaki kambing dimasak dengan mereka yang berkukuh kepala dan kaki kambing harus ditanam di perempatan jalan masuk desa sebagai persembahan kepada danyang.

Sampai sore, belum ada kesepakatan antarwarga sehingga sesuai perintah sesepuh dusun, kepala dan kaki kambing tetap ditanam. Namun, pada malam hari, setelah pelaksanaan bersih dusun berlangsung, terjadi insiden yang tidak pernah diduga.



Pada malam itu, beberapa warga membongkar kepala dan kaki kambing yang telah ditanam. Mereka beramai-ramai mengropok (membakar kepala dan kaki kambing untuk membersihkan kulit) kepala dan kaki kambing serta memasaknya. Terjadi kemarahan antara para sesepuh dusun dan. Pertengkaran mulut tidak dapat dihindari.

Warga yang menghendaki kepala dan kaki kambing ditanam merasa takut danyang marah hingga mengakibatkan warga dusun akan mendapat karma. Sementara, kubu kaki dan kepala kambing tetap dimasak mengabaikannya.

Nasi sudah menjadi bubur. Warga yang menghendaki tradisi dijalankan dengan benar pulang ke rumah dengan menyimpan marah. Merekapun pulang dengan meninggalkan kata-kata tajam, “Kalau terjadi apa-apa di dusun, kubu kepala dan kaki kambing dimasak harus bertanggung jawab.”

Semenjak peristiwa itu, semua dari kambing saat ini dimasak. Tidak ada yang terbuang sama sekali. Dengan perkembangan zaman, akhir-akhir ini pelaksanaan tradisi suran juga sudah tidak lagi dilaksanakan di pasar maupun di makam pelas.

Penyembelihan kambing dilaksanakan di salah satu rumah warga sesuai kesepakatan. Warga berkumpul di salah satu seseorang, memanjatkan doa, lantas menyembelih kambing.

Selanjutnya, kambing dimasak dan disajikan untuk makan bersama. Sambil menunggu masakan daging kambing matang, untuk melestarikan tradisi kesenian, tarian-tarian tradisional akan disuguhkan sebagai hiburan.

Model perayaannya juga mulai bergeser. Tadinya perayaan menggunakan istilah sesaji sehingga menimbulkan pergolakan di masyarakat. Ada yang menerima dengan pemaknaan positif, namun ada juga yang menolaknya karena dianggap sebagai perilaku syirik dan lain sebagainya.

Di Dusun kalongan, model pemaknaan terhadap upacara tradisi suran juga banyak mengalami pergeseran. Kalau dulu model sesaji dipersembahkan untuk danyang desa, kini doa dan tujuannya bersedekah dan mengharapkan pertolongan dari Tuhan. Dengan berkembangnya waktu, upacara tradisi itu dilakukan dengan simbol-simbol lain, seperti sedekah dan doa-doa kebaikan. Warga tidak lagi memohon keselamatan pada danyang, namun memohon kepada Pencipta alam semesta.

Hal ini menunjukkan tradisi bersih desa yang telah ada sejak lama mengalami akulturasi dengan perkembangan zaman dan melampaui keyakinan kejawen yang warga miliki. Sampai saat ini. tradisi ini masih dilakukan. Hanya, selama dua tahun yang ini, tidak ada pelaksanaan tradisi suran karena pandemi Covid-19 melarang masyarakat berkerumun.

Penulis adalah guru SMK Negeri Ngargoyoso

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya