SOLOPOS.COM - S Brodjo Sudjono

Rumah mewah di Jl Tluki 5, Badran, Solo, malam itu tampak sepi. Si empunya rumah, Soemardjono Brodjo Sudjono, malam itu sendirian. Saat Espos mewawancarainya, beberapa kali ia harus tergopoh-gopoh ke ruang tengah ketika telepon rumah berdering. “Ini ibu sedang ada pertemuan. Dua anak saya sudah menikah. Satu kuliah, makanya rumah sepi,” ujarnya sambil menunjukkan selembar foto pernikahan anak keduanya yang terpajang di dinding ruang tamu. Di sebelah foto itu terpajang fotonya memakai toga guru besar.

Foto itu cukup menjadi bukti kesuksesannya dalam dunia akademis. Di kalangan pendidikan tinggi Kota Solo namanya dikenal luas. Ia pendiri Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia (ASMI) yang sempat moncer di era 1990-an. Ia juga pendiri Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) yang kini menjadi Universitas Surakarta (Unsa).

Tapi, siapa sangka Brodjo–sapaan akrabnya–meniti pekerjaan dari loper koran. Lahir di Arjosari, Pacitan, 60 tahun lalu, anak ketujuh dari 10 bersaudara ini saat SD sudah ditinggal ayahandanya. Sejak itu, ia ikut kakak pertamanya yang tinggal di Solo. Di bangku SMP itulah Brodjo menjadi loper koran. Maklum, kala itu keluarganya adalah salah satu agen koran kecil. Sembari membantu keluarga, Brodjo melakoni pekerjaan itu. “Tapi tidak perlu dilebih-lebihkan. Zaman itu liyane ya rekasa (orang lain juga hidup susah-red). Semua ini jalan yang diberikan Allah,” ujarnya merendah.

Jangan bayangkan seperti loper koran sekarang ini. Untuk mendapatkan koran, setiap malam Brodjo harus menunggu kiriman koran di Stasiun Balapan yang dikirim via kereta api. Paginya selepas subuh, ia langsung mendistribusikan ke pelanggan. Setelah tugasnya rampung, barulah ia bisa ke sekolah. Itu saat kondisi normal. Kalau koran datang telat sampai, saat itu juga Brodjo mendistribusikan ke pelanggan. “Misalnya dikirim pagi, takutnya telat ke sekolah,” ungkapnya.

Pekerjaan itu berlangsung hingga ia tamat SMA. Tapi, Brodjo merasa beruntung, menjadi loper koran menjadikannya tak pernah ketinggalan informasi. Bergaul dengan beragam profesi di stasiun juga membuat mentalnya tahan banting.

Namun, bukan berarti ia tak pernah risau memikirkan masa depannya. Yang ia ingat, saat tiba-tiba lelah menggerogoti semangatnya, ia akan menggaungkan matra sakti: jangan pernah menyerah. “Saya punya keyakinan di atas batu karang pun kalau Tuhan mengizinkan, tanaman bisa tumbuh, berkembang dan bermanfaat bagi kehidupan,” ungkapnya.

Brodjo mengaku semuanya mengalir. Untuk menopang biaya kuliah, ia mengaku bekerja sak kecekele (seadanya-red). Brodjo pernah bekerja di percetakan, mengajar sampai menjadi koresponden koran. “Kepercayaan saya tumbuh waktu jadi sarjana,” ungkapnya.

Karier pertama setelah meraih gelar sarjana dari Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) pada 1976 adalah mengajar di Akademi Katolik St Pignatelli Solo. Setahun kemudian, ia bersama kakak pertamanya, Soemaryono, mendirikan SMA Pancasila.

Sejak itu, keinginan Brodjo terjun ke dunia pendidikan semakin kuat. Dua tahun berikutnya, ia tertarik mendirikan ASMI yang merupakan cabang ASMI Jakarta. Saat itu, pemimpin ASMI Jakarta, Benny Tengker, mengizinkan Brodjo mendirikan ASMI lantaran ia bisa melengkapi ASMI dengan sasana tinju. “Karena Pak Benny Tengker hobi tinju. Dari sasana ASMI pernah lahir juara tinju se-Asia seperti Adi Swadana,” ungkapnya.

Brodjo mengelola segala sumber pembiayaan ASMI baik dari hibah maupun SPP mahasiswa secara cermat. Dirintis pada 1979, ASMI terus berkembang. Sejak mengelola ASMI, lelaki penggemar olahraga voli ini juga terjun di dunia sepak bola.
Pada 1983, Brodjo berhasil membujuk pemimpin klub Galatama yang tak lain putra mantan Presiden Soeharto memindahkan klub Arseto dari Jakarta ke Solo. Jadilah ia menjadi orang Solo pertama yang menjadi manajer klub Galatama. “Pengalaman menjadi manajer sepak bola itu sangat ruwet. Butuh totalitas,” ungkapnya.

Tapi, Brodjo mengaku sangat menikmati. Dari semua lika-liku perjalanannya itu, Brodjo menganggap ada satu hal yang unik terkait alur pendidikannya. Ia merasa selalu kebagian yang pertama atau terakhir. Di SMP, ia lulusan terakhir SMP 3 yang kemudian dipecah menjadi SMP 10.

Di SMA, ia juga lulusan terakhir Sekolah Koperasi Menengah Atas (Skopma) yang kemudian menjadi SMEA Batik. Di Untag, Brodjo pun lulusan terakhir sebelum Untag bubar. Namun, ia merupakan angkatan pertama program khusus Jurusan Filsafat UGM. Selain itu, ia juga angkatan pertama program doktor Ilmu Hukum Undip sekaligus mahasiswa yang lulus pertama program doktor tersebut.

Itu pasalnya, kini ia juga punya keinginan unik. Kalau para profesor di UI membentuk band berjuluk The Professor, di Solo, Brodjo berpikir membentuk grup ketoprak guru besar dengan mengajak sejumlah profesor dari berbagai perguruan tinggi di Solo. “Soal nama lengkap saya, itu berasal dari kristalisasi perenungan. Brodjo itu artinya senjata, Sudjono itu kepandaian,” pungkasnya.

Oleh: Fetty Permatasari

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya