SOLOPOS.COM - Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar (Dok/JIBI/Solopos/Antara)

Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar (Foto Antara)

JAKARTA- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta DPR menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (PKS), yang terkesan terburu-buru.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“KontraS memprotes keras atas rencana pengesahan RUU PKS secara sepihak oleh DPR pada Sidang Paripurna Selasa (3/4), meski akhirnya DPR menunda rencana pengesahan hingga 10 April 2012. Namun, KontraS tetap memandang pengesahan RUU tersebut secara terburu-buru,” kata Koordinator Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar, di Jakarta, Kamis (5/4/2012).

Ekspedisi Mudik 2024

Protes keras itu juga disampaikan KontraS melalui surat terbuka kepada Ketua Pansus RUU PKS, Eva Sundari, pada Selasa (3/4).

Menurut Haris, tindakan sepihak ini membuktikan bahwa DPR telah menggunakan instrumen kewenangannya (kewenangan legislasi) untuk memangkas tahapan proses Partisipasi Masyarakat sebagaimanan diatur dalam UU No. 12 tahun 2011 Tentang Tata Cara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, terutama dipasal 96 tentang.

“DPR juga mengabaikan aturan atau UU lain yang tidak boleh ditentang oleh RUU PKS ini,” ujarnya.

Keresahan KontraS, juga akan dirasakan banyak elemen masyarakat sipil lainnya mengingat selama ini elemen masyarakat sipil turut bahu membahu dalam mencari resolusi konflik dan merawat proses perdamaian pasca-konflik.

Pengabaian masukan masyarakat sipil dalam berbagai ruang pertemuan dengan DPR, lanjut dia, adalah wujud pengingkaran mandat rakyat itu sendiri. Sebuah pengesahan RUU idealnya harus melibatkan partisipasi dan sosialisasi publik yang simultan, di mana ruang-ruang ini akan diisi berbagai alat uji “consequential harm test” dan “public interest test”.

Haris mencontohkan, khususnya di wilayah-wilayah Indonesia yang masuk dalam kategori konflik (Papua) dan pasca-konflik (Sambas, Sampit, Maluku, Aceh, Poso, hingga wilayah perbatasan Timor Leste, Atambua), sejauh pemantauan KontraS, belum ada proses sosialisasi dan penarikan masukan dari kelompok-kelompok masyarakat.

Selain proses yang tidak partisipatif, KontraS memandang bahwa materi-materi (pasal-pasal) yang ada didalam RUU PKS juga masih bermasalah, terutama pasal-pasal yang berpotensi mencederai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia warga Indonesia.

Seperti, longgarnya definisi konflik sosial, dengan mencampuradukkan terma konflik sosial dengan tawuran antar kampung, namun melupakan dimensi konflik seperti kesukuan, etnis, bahkan agama.

“Kami khawatir bahwa Pengesahan RUU PKS akan menimbulkan ketidaksempurnaan yang serius secara konstitusional dan berbenturan dengan UU lainnya seperti UU KUHP, KUHAP dan UU bidang Keamanan (UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara),” tutur Haris.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya