SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (2/2/2019). Esai ini karya Bima Widiatiaga, anggota tim penulis buku Lokananta: Sejarah dan Eksistensinya, alumnus Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah bimawidiatiaga@gmail.com. 

Solopos.com, SOLO — Sebanyak 20 media dalam jaringan (daring) di Indonesia menempatkan pemberitaan tentang Rancangan Undang-undang tentang Permusikan atau RUU Permusikan sebagai trending topic selama beberapa hari terakhir.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Hal ini tak lepas dari kontroversi RUU Permusikan, khususnya pada  Pasal 5 dan Pasal 32, yang terkesan membatasi kreativitas musikus. Pada Pasal 5 ada ketentuan pemusik dilarang melakukan proses kreatif bermusik yang menistakan agama, merendahkan martabat orang lain, berbau pornografi, dan membawa budaya Barat yang negatif.

Pada Pasal 32 ada ketentuan musikus yang diakui sebagai profesi harus mempunyai sertifikat uji kompetensi. Awalnya esensi dan semangat membuat RUU Permusikan adalah untuk melindungi hak-hak musikus dalam proses kreatif bermusik.

Hal tersebut tampak pada beberapa pasal dalam RUU Permusikan yaitu peran pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk melindungi musikus atas hak royalti, memfasilitasi pendaftaran penciptaan karya musik, hingga mendorong serta memfasilitasi musikus di setiap pertunjukan musik, baik di dalam maupun luar negeri.

Esensi dalam RUU Permusikan tercoreng dua pasal yang kontroversial dan terkesan membatasi proses kreatif musikus. Dua pasal yang terkesan membatasi proses kreatif tersebut mengingatkan kita pada sejarah pembatasan dan pelarangan musik yang pernah terjadi di Indonesia.

Sejarah pembatasan dan pelarangan music dimulai pada era Demokrasi Terpimpin, era Presiden Soekarno, sejak 1959 hingga berakhirnya masa jabatan sang proklamator tersebut. Pada era tersebut terjadi pembatasan dan pelarangan musik Barat dengan dalih harus sesuai dengan kepribadian nasional.

Pembatasan dan pelarangan bermula dari pidato Presiden Soekarno dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita pada 17 Agustus 1959 yang menyebut musik rock and roll, dansa-dansian, dan cha cha cha sebagai musik ngak ngik ngok (bodoh) dan sebagai wujud imperialisme kebudayaan di Indonesia.

Tafsir Kepribadian Nasional

Tak lama setelah pidato Presiden Soekarno tersebut, Radio Republik Indonesia (RRI) menghapus lagu-lagu Barat di semua siaran dan melarang musikus yang memakai nama kebarat-baratan tampil di RRI (Suara Merdeka, 20 dan 30 Oktober 1959).

Pemerintah kala itu juga menerapkan kebijakan retooling, seperti pengubahan nama grup musik yang berbahasa asing menjadi bernama dalam bahasa Indonesia dan aliran musik rock and roll menjadi aliran musik yang dianggap tak sesuai dengan kepribadian nasional.

Grup musik The Rhtym Kids mengubah nama menjadi Varia Nada dan tidak lagi memainkan lagu-lagu karya atau yang dinyanyikan Elvis Presley (Varia, 17 Agustus 1960). Pelarangan dan pembatasan musik era ngak ngik ngok pernah diprotes oleh Djawatan Kebudajaan Perwakilan Djakarta Raja.

Lembaga ini menganggap pelarangan tersebut menghambat potensi pemuda dalam bermusik dan lembag aini mempertanyakan standar musik yang berkepribadian nasional (Star Weekly, 2 Januari 1960).

Protes ini tidak digubris oleh pemerintah. Pada 1963 Presiden Soekarno menetapkan Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 tentang Pembatasan Kegiatan Subversi. Penetapan presiden tersebut menjadi landasan pemerintah merazia musik.

Koes Bersaudara dipenjara pada 1965 (Kompas, 3 Juli 1965) dan Lilies Surjani ditegur oleh aparat negara karena bermusik yang kebarat-baratan (Kompas, 20 Agustus 1965). Pemerintah juga merazia rambut dan pakaian ala The Beatles.

Polisi mengundang pengusaha salon, pemilik toko sepatu, dan penjahit dan diarahkan agar tidak melayani konsumen yang memesan pakaian, sepatu, maupun gaya rambut seperti The Beatles (Kompas, 21 Juli 1965).

Aksi Teatrikal

Pembatasan dan pelarangan bermusik berlanjut pada era Orde Baru. Grup band rock asal Surabaya, AKA, tak boleh tampil di beberapa kota selama enam bulan pada 1972. Aparat keamanan di daerah selalu melarang band ini tampil.

Pelarangan konser ini terjadi karena AKA sering menampilkan aksi teatrikal satanis dan dianggap jauh dari norma-norma Timur (Kompas, 26 Januari 1973). Grup band rock memang dianaktirikan oleh pemerintah era Orde Baru.

Penganaktirian itu berupa larangan berpenampilan gondrong yang menjadi ciri khas musikus rock hingga izin pergelaran musik rock yang dipersulit karena sering terjadi kericuhan penonton dalam konser musik rock.

Raja dangdut Rhoma Irama juga pernah merasakan larangan dari pemerintah dalam bermusik. Pada 1976, Menteri Penerangan Mashuri melarang lagu Rhoma Irama berjudul Rupiah ditayangkan di TVRI. Mashuri beralasan lagu Rupiah merupakan indoktinasi konyol karena terlalu mendewakan uang (MIDI, No. 76 Tahun 1976).

Rhoma Irama dilarang tampil di TVRI sejak tahun 1977. Rhoma kembali tampil di TVRI pada 1988 di acara Aneka Ria Safari. Nasib yang sama juga menimpa jalur musik pop. Menteri Penerangan Harmoko melarang TVRI menampilkan lagu pop cengeng pada saat berpidato pada hari ulang tahun TVRI, 24 Agustus 1988.

Pelarangan tersebut membuat 31 artis Safari binaan Eddy Sud datang menemui anggota Komis IX DPR  dan meminta penjelasan ihwal pidato Harmoko tersebut (Kompas, 2 September 1988).

Penghapusan Dua Pasal



Menurut hemat saya, pemerintah sekarang memang tidak akan menetapkan standar bermusik seperti era Demokrasi Terpimpin dan Era Orde Baru. Yang harus diperhatikan adalah karya musik sudah seharusnya tidak diberi standar seperti ketentuan dalam Pasal 32 RUU Permusikan karena karya musik merupakan produk budaya  musikus.

Pemerintah tidak perlu terlalu jauh mengurusi standar kualitas teknis musikus sampai harus membuat sertifikasi atau uji kompetensi. Kita perlu melihat sejarah bahwa revolusi musik pada era rock n’ roll age merupakan bentuk perlawanan terhadap musik klasik yang terlalu banyak menetapkan standar. Pada akhirnya, virus rock n’ roll tersebar luas di seluruh dunia.

Pasal 5 RUU Permusikan yang rentan menjadi pasal karet. Ada kekhawatiran pada masa depan musikus dipidanakan karena proses kreatif mereka. Tafsiran atas karya musikus dalam proses kreatif bisa berbeda-beda, baik dalam sudut pandang yang mempermasalahkan dan menggugat ke ranah hukum maupun sudut pandang aparat penegak hukum.

Ada pula kekhawatiran lagu-lagu yang bertema kritik sosial dan politik akan dipidanakan oleh seseorang yang merasa terhina atau direndahkan martabatnya oleh isi lagu tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya