SOLOPOS.COM - Ilustrasi difabel (istimewa)

RUU Penyandang Disabilitas yang dibahas dalam sebuah focus group discussion (FGD) di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof Dr Soeharso Surakarta, para peserta sempat memperdebatkan istilah disabilitas dan difabilitas.

Solopos.com, SOLO — Istilah disabilitas dan difabilitas sempat diperdebatkan dalam forum Focus Group Discussion (FGD) tentang RUU Penyandang Disabilitas, di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof Dr Soeharso, Selasa (26/5/2015).

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Di Indonesia kosa kata difabilitas telah familier, namun karena acuannya adalah Convention on the Right of Person with Disability (CRPD) yaitu konvensi PBB mengenai hak penyandang disabilitas, kata yang dipakai pada undang-undang pun akhirnya memakai istilah disabilitas.

“Padahal kalau saya lebih pas memakai kata difabel, ketimbang disabel. Difabel itu menunjuk pada istilah different ability (kemampuan berbeda), sementara disabel dari kata disable (kemampuan terbatas). Kami ini hanya berbeda secara fisik, bukan karena kemampuan terbatas. Ketika kami diberi akses yang baik, maka kemampuan kami juga tidak terbatas sama dengan manusia lainnya walaupun kondisi kami tetap berbeda,” papar Djoko, salah seorang difabel peserta FGD ketika menyampaikan pandangannya tentang difabel dan disabel.

FGD tentang RUU Penyandang Disabilitas digelar Kementerian Sosial di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof Dr Soeharso, Senin-Selasa (25-26/5/2015). Kepala BBRSBD Prof.Dr.Soeharso Surakarta, C Clara ES, sebelumnya menyebut FGD bertujuan menjaring aspirasi dan masukan dari pemangku kepentingan yang terkait dan peduli dalam penanganan penyandang disabilitas.

Istilah difabel dan disable diperdebatkan karena pada Bab I  Ketentuan Umum RUU Penyandang Disabilitas menyebut bahwa yang disebut penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami “keterbatasan” fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan/atau sikap masyarakat dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpastisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

“Kata keterbatasan itu yang saya tidak sependapat, mestinya diganti perbedaan,” kata Djoko peserta dari Pusat Pengembangan dan Latihan Rehabilitasi Para Cacat Bersumberdaya Masyarakat (PPRBM) Prof. Dr. Soeharso Solo.

Di pihak lain menyebut bahwa penggunaan kata different ability justru akan menjadi boomerang. “Selama ini kami sebagai praktisi yang menengani siswa disabilitas selalu menyampaikan bahwa siswa kami ini mempunyai hak yang sama, meminta hak-hak yang sama. Jadi kalau kami menekankan soal perbedaannya kan menjadi rancu. Apalagi dalam Undang-Undang RI No. 19 Tahun 2011 Tentang Ratifikasi CRPD, istilah yang digunakan adalah penyandang disabilitas,” papar Mardiyanto, pemandu FGD RUU Penyandang Disabilitas dari BBRSBD Surakarta.

Pada akhirnya, dalam FGD tersebut salah satu hal yang disepakati adalah menghilangkan kata “Penyandang” dalam RUU Penyandang Disabilitas. Karena kata itu dinilai memunculkan stigma. Peserta FGD menyepakati undang undang itu diberi nama Undang Undang Disabilitas. (Mulyanto Utomo/JIBI/Solopos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya