SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO -- Pertemuan demi pertemuan dan percakapan demi percakapan teringat dengan kalimat-kalimat lazim dan mudah diterima. Sekian kalimat pada masa-masa awal bergaul dengan Radhar Panca Dahana masih terbawa sampai sekarang.

Kami tak berebutan atau saling mendahului saat mengucapkan ungkapan karep urip, nglakoni apa wae, ora usah sambat, dan lain-lain. Percakapan kami biasa diselingi bahasa Jawa. Radhar Panca Dahana mengaku marem mengatakan hal-hal pokok menggunakan bahasa Jawa, bahasa yang termiliki dan membentuk biografi dirinya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Pada suatu hari, malam, terjadi percakapan di rumah Mbah Prapto, mendiang Suprapto Suryodarmo. Seru. Para lelaki mengaku mengerti Jawa, saling omong panjang. Malam itu mendebarkan dalam mengisahkan dan menjelaskan tentang Jawa, “bersaing” acuan dan kematangan mengurutkan babak-babak pemikiran di Jawa.

Tokoh-tokoh Mangkunagoro I, Mangkunagoro IV, Mangkunagoro VII, Paku Buwono IV, Paku Buwono X, Jasadipura I, Jasadipura II, Ranggawarsita, Padmasusastra, Sosrokartono, Ki Ageng Suryomentaram disebut memberi bobot percakapan itu memang kental dengan Jawa, berlanjut ke masalah-masalah pelik di Indonesia.

Saya, Radhar Panca Dahana, dan Mbah Prapto mulai terikat sejenis janji bakal membuat pertemuan-pertemuan lanjutan ngomongke dan mikirke Jawa. Di hadapan dua orang tangguh itu, saya pantang minder atau bercap “bocah ingusan” dalam debat.

Kecerewatan diladeni kecerewetan. Terbukti! Pada setiap acara, kami bertemu untuk membentuk percakapan ruwet sambil cengengesan, misuh, dan berdoa. Tahun demi tahun, kami masih selalu berkiblat Jawa.  Saya menganggap Radhar Panca Dahana serius kepencut Jawa, menguak khazanah Jawa.

Ia pasti bertemu orang-orang ampuh, khatam membaca buku-buku penting, dan mengolah secara lentur untuk digunakan dalam ngudhar gagasan. Pengertian itu terlambat saya miliki tapi ditebus dengan sering mengalami pertemuan dan percakapan di pelbagai kota.

Tebusan mengesankan adalah Radhar Panca Dahana sregep dolan ke Bilik Literasi, sejak di rumah kontrakan sampai di alamat sekarang Tanon Lor, RT 003/RW 001, Gedongan, Colomadu, Karanganyar. Bilik Literasi adalah tempat tinggal saya.

Kehadiran dia puluhan kali memunculkan ledekan berulang yang diucapkan,”But [Kabut adalah nama panggilan saya], dirimu miskin, ngapa gawe sinau-sinau?” Perkataan mengena tapi ia memiliki lanjutan-lanjutan yang terbuktikan dengan turut bertanggung jawab atas kehidupan penulis dan orang-orang yang sinau di Bilik Literasi.

Kalimat itu menandai kami bermufakat melakukan kerja-kerja keaksaraan, tahun demi tahun. Saya ingin bercerita pertautan dalam kerja keaksaraan berpatokan rumah. Tema rumah pernah membara saat saya bercakap-cakap bersama Radhar Panca Dahana dan Mbah Prapto.

Babak awal terjadi pada akhir 2007. Saya menikah tanpa ada janji dan mimpi indah menikmati hari-hari sebagai suami-istri. Perkara terberat tentu ketiadaan duit, tapi memiliki utang dalam jumlah besar. Jawaban dari hari-hari sulit berasal dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Dua naskah kritik sastra garapan saya diumumkan menang dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007. Naskah bertema rumah berada di urutan kedua. Konon, rezeki bagi orang berani menikah alias mendirikan rumah tangga. Sekian tahun, usaha menjadi penulis gagal dan gagal.

Ratusan tulisan dikirimkan ke pelbagai koran. Sebuah tulisan tak pernah muncul di halaman koran. Pada saat mendirikan Pawon (komunitas sastra di Solo) bersama teman-teman, keminderan terasa gara-gara berbaur dengan orang-orang yang sudah “resmi” dianggap penulis dan kondang.

Penghiburan adalah kejatah menulis esai dalam terbitan buletin Pawon, edisi bulanan. Pengesahan sebagai penulis tetap belum terjadi. Kabar dari DKJ memungkinkan hidup masih bergerak. Kejutan terjadi pada awal 2008. Esai saya berjudul Rumah dimuat di Harian Kompas di Rubrik Teroka dengan redaktur Radhar Panca Dahana.

Dua tulisan di DKJ dan Kompas kelak menjadi bekal obrolan panjang saat mula-mula saya berkenalan dengan Radhar Panca Dahana di rumah Mbah Prapto. Dua tulisan mengantar saya sampai ke puluhan koran dan majalah, memastikan hidup dari menulis: menghidupi istri dan anak-anak dengan menulis.

Rumah mengikat hubungan saya dan Radhar Panca Dahana. Pada saat remaja, Radhar Panca Dahana bercerita pergi dari rumah. Ia menunaikan janji menjadi manusia dengan meninggalkan rumah. Mbah Prapto pun mengisahkan pergi dari rumah, berkelana ke pelbagai negeri.

Rumah-rumah pernah terpahamkan sebagai kungkungan, hukuman, paksaan, perintah, kejenuhan, ketertutupan, dan lain-lain. Pergi dari rumah menjadikan dua orang itu tenar. Seni dan pemikiran mereka berpengaruh, tak cuma di Indonesia.

Bergerak Keluar Rumah

Pada saat menuju tua, mereka ingin berumah, tak kembali ke rumah masa lalu atau rumah asal. Konon, rumah-rumah makin sulit membuat betah. Mereka terus saja berkelana tapi memiliki rumah. Saya berpikiran bahwa seniman-seniman Indonesia terlalu bermasalah dengan rumah, dari masa ke masa.

Mereka mengelak atau mengingkari kerasan di rumah. Bergerak dan bergerak ke pelbagai tempat, belum tentu merindukan rumah. Masalah itu bertambah pelik saat saya bergaul dengan Afrizal Malna, sosok unik dalam perkara rumah.

Ia penah mengatakan deretan kata mengejutkan saat menginap di Bilik Literasi versi rumah kontrakan Ia berkata,”Hidupku dalam koper.” Ia tak memiliki rumah, susah mengatakan singgah atau pulang ke rumah. Afrizal Malna terbukti bergerak dari kota ke kota.

Saya menghormati dan mengenang Radhar Panca Dahana. Ia kerasan di Solo, sering ke Solo. Pada suatu hari, serial obrolan tak terjadwal dan menghasilkan peristiwa turut menentukan nasib Balai Soedjatmoko. Kami berbicang lama mengenai Soedjatmoko dan para pemikir sejak masa kolonial sampai revolusi.

Pada babak terpenting, kami mulai berpikiran tentang rumah. Ada rumah di Solo pernah dihuni keluarga Saleh Mangoendiningrat. Rumah itu dinamai Balai Soedjatmoko, bersebelahan dengan Toko Buku Gramedia. Tempat sudah digunakan untuk acara-acara seni tapi belum tergarap serius.

Pada hari terjanjikan, sekumpulan orang, yaitu Radhar Panca Dahana, Ardus M. Sawega, saya, Albertus Rusputranto P.A., dan beberapa teman bertemu di Balai Soedjatmoko, membahas pemajuan acara-acara seni dan keintelektualan di Solo. Pada babak awal Balai Soedjatmoko-Bentara Budaya, Radhar Panca Dahana berperan meski perlahan-lahan kemudian tak teringat.



Mulailah rumah dinamakan Balai Soedjatmoko itu digarap sebagai tempat mengadakan diskusi dan acara seni! Saya ingat diskusi awal adalah peringatan seabad Sutan Sjahrir, pada 2009. Rumah lama itu makin bermakna, berlanjut sekian acara serial diskusi sastra, kota, dan Jawa.

Pada saat resmi bergerak di naungan Bentara Budaya, ratusan acara diselenggarakan tapi mengalami situasi sulit pada 2020 dan 2021. Kini, orang-orang mungkin merindukan rumah bernama Balai Soedjatmoko. Radhar Panca Dahana menulis tema rumah dalam ratusan esai dan puisi, memiliki kesadaran besar tentang rumah menentukan arus peradaban Nusantara.

Saya membutkikan pertanggungjawaban Radhar Panca Dahana tentang rumah. Bermula dari rumah kontrakan, saya berpindah rumah. Obrolan Radhar Panca Dahana dan teman-teman sinau di Bilik Literasi terus digelar. Pada saat mendirikan rumah joglo (2013), Radhar Panca Dahana tetap membesarkan pikiran tentang rumah.

Di tiga rumah, ia mengaku kerasan. Di rumah joglo, ia merasa “kembali” dan menikmati “hidup berumah”. Radhar Panca Dahana terbiasa memberi ”infak” untuk seri sinau di Bilik Literasi.  Biografi teman-teman di Bilik Literasi perlahan-lahan terhubung dengan Radhar Panca Dahana.

Satu demi satu, teman-teman tampil menjadi penulis di Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka, Solopos, dan lain-lain. Obrolan bersama Radhar Panca Dahana sering membuat teman-teman makin serius berpikir dan rajin menulis.

Di luar menulis, kami mengerti cara memanjakan Radhar Panca Dahana dengan kopi dan makanan. Kami pun mengerti sulit menandingi kecerewetan Radhar Panca Dahana dan ketangguhan dalam berbantah-bantahan. Semua sering terselenggara di rumah bernama Bilik Literasi dan warung-warung sekitarnya.

Di rumah, kerja-kerja keaksaraan berlangsung sederhana. Mufakat bahwa rumah itu asal dan muara kerja keaksaraan terbuktikan. Episode itu bertambah seru dengan kelonggaran Mbah Prapto dolan ke Bilik Literasi. Pada saat bertemu dan bercakap, kami membiasakan tak berpotret. Tulisan menggantikan potret.

Kini, rumah (Bilik Literasi) tak lagi didolani Mbah Prapto dan Radhar Panca Dahana. Mereka sudah menuju “rumah” berbeda. Radhar Panca Dahana berpulang pada Kamis malam, 22 April 2021. Saya tetap merawat omongan-omongan mereka bertema rumah sambil mencicil utang rumah. Biografi penting kelak diobrolkan dan diingat oleh tiga anak saya, Abad Doa Abjad, Sabda Embun Bening, dan Bait Daun Takjub.

Bahwa dua pemikir tentang rumah, Mbah Prapto dan Radhar Panca Dahana,  memastikan saya selalu “berumah” dan menjadi bapak rumah tangga. Rumah turut dimaknai mereka meski utang belum lunas. Rumah untuk sinau seribuan orang dari pelbagai desa dan kota di seantero Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya