SOLOPOS.COM - Suasana permukiman warga di kawasan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Rabu (23/3/2016). Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang berjumlah 337 unit di kawasan tersebut belum bisa ditangani Pemkot Solo akibat terkendala warga tidak dapat menunjukkan sertifikat kepemilikan tanah karena mayoritas magersari (menyewa tanah milik keraton) yang menjadi salah satu syarat permohonan bantuan perbaikan. (Ivanovich Aldino/JIBI/Solopos)

Rumah tak layak huni Solo, ada yang mengaku utusan Keraton Kasunanan Surakarta yang meminta warga menghentikan renovasi rumah di Baluwarti.

Solopos.com, SOLO–Sejumlah warga Kelurahan Baluwarti, Pasar Kliwon, Solo mengeluh tidak bisa leluasa merenovasi rumah sesuai kebutuhaan atau keinginan.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Mereka takut diminta membayar uang jutaan rupiah kepada Keraton Solo apabila nekat mengubah atau memperbaiki bangunan rumah. Salah satu warga Baluwarti, S, 45, mengaku pernah didatangi beberapa orang utusan dari Keraton saat merenovasi rumah sekitar dua tahun lalu. Dia menyampaikan, beberapa orang utusan Keraton lantas memaksa para pekerja berhenti memperbaiki rumah.

“Waktu itu saya harus memperbaiki rumah karena kondisi bangunannya sudah tidak layak. Berbagai bagian atap rumah bahkan sudah bocor. Belum selesai, datanglah utusan dari Keraton yang meminta para pekerja menyetop proses perbaikan,” kata S yang enggan disebut namanya karena takut mendapat ancaman, Rabu (23/3/2016).

Tidak lama setelah disuruh menyetop proses perbaikan rumah, S melanjutkan, dirinya menerima panggilan atau undangan untuk datang ke Keraton. Dia memilih untuk memenuhi panggilan tersebut. Menurut S, dirinya dimarahi oleh salah satu pemangku Keraton karena dianggap telah sewenang-wenang merenovasi rumah tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Keraton.

“Saya dipanggil ke Keraton.  Saya diberitahu gini-gini. [Menurut pihak Keraton] Warga yang mau ngecat tembok saja seharusnya meminta izin. Dia bilang kepada saya, enak saja kamu seenaknya sendiri [merenovasi rumah]. Intinya saya dimarahi. Akhirnya saya manut. Saya ternyata suruh membayar. Kalau terjangkau, saya tidak masalah membayar. Ternyata mereka tidak terus terang minta berapa,” papar S.

S mengungkapkan alasan warga harus membayar karena tanah yang ditempati merupakan milik Keraton. Karena merasa bingung tanpa kejelasan, dia kemudian, menghubungi salah satu kerabat Keraton. S meminta pentunjuk atau solusi karena dirinya belum menerima kejelasan sehingga jelas tidak berani melanjutkan perbaikan rumah.

“Intinya saya konsultasi dengan kerabat Keraton. Saya dikasih penjelasan. Awalnya juga tidak memberi kejelasan. Namun, beberapa bulan kemudian, saya dipanggil lagi. Saya dipersilakan untuk melanjutkan proses perbaikan rumah. Saat itu saya tidak diminta membayar,” papar S.

Setelah proses perbaikan rumah selesai, S menyampaikan beberapa orang utusan dari Keraton Solo datang kembali. Mereka meminta dirinya membayar uang Rp15 juta dengan tawaran mendapatkan sertifikat kepemilikan tanah. Karena belum ada jaminan pasti, S lantas hanya membayar uang Rp5 juta. Dia mau membayar uang hingga Rp15 juta apabila sertifikat tanah sudah pasti digenggaman.

“Mereka bipang kalau hak milik bisa [diberikan ke warga] pakai uang Rp15 juta. Prinsip saya, kalau ada barang, ada uang. Kemarin saya kasih Rp5 juta. Mereka janjikan ada hak milik tanah untuk saya. Proses yang tidak jelas seperti ini membuat warga enggan merenovasi rumah. Kasihan warga yang tinggal di rumah tidak layak huni dan tidak memiliki cukup rezeki,” jelas S.

Senada dengan S, warga Baluwarti lainnya, SS, 63, mengutarakan kebijakan Keraton kurang jelas terkait pengelolaan tanah di Baluwarti. Dia mengatakan warga sebenarnya mau membayar upeti secara rutin kepada Keraton sebagai konsekuensi telah menggunakan tanah Keraton. Namun, menurut SS, Keraton tidak memberikan kepastian kepada warga soal jaminan tanah.

“Pikukuh setiap tahun harus diperbaharui. Namun, lama-lama ada perjanjian baru. Isu yang berkembang di warga, Keraton bisa kapan pun mengambil alih rumah warga. Akhirnya warga enggan membayar upeti ke Keraton lagi. Kalau tidak ingin pergi, warha harus membayar bisa jutaan rupiah. Warga takut disuruh tanda tangan ini itu. Seharusnya Keraton kan jelas,” papar SS.

Saat dimintai konfirmasi terkait adanya tarikan uang dari Keraton kepada warga yang merenovasi rumah, Ketua Eksekutif Lembaga Hukum Keraton Solo, K.P. Eddy Wirabhumi, membenarkan namun tidak secara lugas. Dia hanya mempertanyakan status kepemilikan tanah kepada warga Baluwari. Menurut dia, warga perlu memberikan kontribusi ke Keraton apabila mendapatkan keuntungan setelah menempati tanah di Baluwarti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya