SOLOPOS.COM - Ilustrasi perumahan (Dwi Prasetya/JIBI/Bisnis)

Rumah murah bersubsidi di Jogja tak digemari

Harianjogja.com, JOGJA—Beberapa persoalan terkait rumah murah atau Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) membuat pengembang yang tergabung dalam DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY tidak tertarik untuk membangun rumah bersubsidi itu pada 2015.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketua DPD REI DIY Nur Andi Wijayanto mengungkapkan, pada 2014 ada dua anggota REI yang ikut menyalurkan rumah FLPP. Saat itu, DPD REI DIY hanya mampu menyediakan 600 unit rumah FLPP dari total penyediaan rumah sebanyak 2.950 unit rumah.

“Kecil sekali. Rumah FLPP yang kami bangun hanya seperlima. Ini juga menjadi kritik untuk kami sendiri,” ujar dia kepada Harian Jogja ketika ditemui di Kantor DPD REI DIY, Timoho, Jogja, Jumat (16/10/2015).

Ekspedisi Mudik 2024

Andi menjelaskan, ada beberapa hal yang membuat FLPP tidak digemari. Pertama, ada beberapa insentif dari pemerintah seperti Prasarana dan Sarana Dasar Pekerjaan Umum (PSDPU) yang ternyata tidak selancar yang dibayangkan.

Bahkan, ada yang belum terealisasi sampai saat ini. Padahal, PSDPU sangat penting untuk menekan harga sehingga bisa menjadi rumah murah.

Kedua, dari sisi pencairan FLPP yang melalui fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) memerlukan waktu yang lama karena mencairkan dana yang memiliki unsur APBN memerlukan kehati-hatian dan verifikasi. Proses verifikasi dan pencairan yang panjang mempengaruhi aliran kas pengembang.

“Harapannya, FLPP cepat cair sehingga kas cepat kembali. Hal itu menjadi kendala sehingga pengembang dari REI DIY minta izin dulu untuk tidak menyuplai dulu karena tidak kuat. Lahannya ada, tapi untuk rumah reguler dahulu. Tahun depan sepertinya juga belum,” ujar dia.

Persoalan menyangkut FLPP dinilai seperti gunung es. Andi menyebutkan, persoalan yang terlihat tidak seberapa dibandingkan problem yang lebih substansial.

FLPP merupakan rumah terjangkau di mana harus memenuhi dua unsur yakni tanah dan fisik bangunan. Kedua unsur itu harus terpenuhi syarat kemurahannya. Bangunan yang terpenuhi syarat kemurahan buak berarti tidak aman dan tidak layak kosntruksi tapi direpresentasikan dengan kualitas material, misalnya jika rumah reguler menggunakan keramik ukuran 50 cm x 50 cm, FLPP memakai ukuran 30 cm x 30 cm.

“Untuk bangunan, hal itu bisa dicari jalan keluarnya. Yang paling sulit adalah tanah.  Tanah mengambil 50 persen sendiri dari total biaya pembangunan,” ungkap dia.

Ia menjelaskan, hampir separuh lebih energi pengembang dihabiskan di sisi tanah untuk menyuplai rumah murah. Jika harga tanah tidak dikendalikan akan sangat berat bagi pengembang untuk merealisasikan rumah murah.

Ada beberapa hal yang membuat harga tanah di DIY tidak bisa murah misalnya, luas lahan yang terbatas dan permintaan tinggi. Namun, REI DIY memiliki pandangan lain yakni karena konsentrasi pertumbuhan permukiman hanya di tiga wilayah yakni Sleman, Jogja, dan Bantul sehingga densitas atau kepadatan hanya membebani ketiga wilayah itu.

“Tapi wajar terjadi karena tiga daerah tersebut memiliki infrastruktur utama yang mendukung di tiga wilayah itu. Misalnya kesehatan, pendidikan, pusat perniagaan. Distribusi fasilitas harus ditingkatkan sehingga konsentrasi penduduk tersebar,”  ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya