SOLOPOS.COM - Dewi Sulistyorini, 45, duduk di tepi Jl. Yosodipiro No. 5, Kelurahan Timuran, Banjarsari, Solo, Selasa (4/7/2017) siang. (Irawan Sapto Adhi/JIBI/Solopos)

Seorang ibu dan dua anaknya hidup di trotoar Jl. Yosodipuro, Solo, setelah rumah mereka digusur Mangkunegaran.

Solopos.com, SOLO — Sudah 20 hari Dewi Sulistyorini, 45, mengakrabi dinginnya malam Jl. Yosodipuro, Solo. Sejak Selasa (13/6/2017) lalu, ibu dua anak itu memaksakan diri tidur di penutup drainase di tepi jalan penghubung bundaran Monumen Pers Nasional dengan Pura Mangkunegaran tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Setiap malam Dewi memasrahkan diri terlelap hanya di atas lembaran karpet. Dewi tidak sendiri. Kedua putrinya, Widyarini Musdalifah, 16, dan Kusuma Arum Putri Pitaloka, 13, ikut menemaninya. Mereka tidak mau mendengarkan nasihat sang ibu untuk tinggal sementara di rumah sanak saudara yang sudah tentu lebih layak.

Kakak Dewi, Retno Sakti Nur Handayani, 50, juga memilih tinggal bersama Dewi di balik lembaran seng yang dipasang berdiri dengan cagak dua kerangka dipan. “Anak-anak sudah saya minta tinggal di rumah saudara tapi tidak mau. Mereka mau menemani saya. Saya juga sedih dan tidak tega jika mereka harus tinggal di tepi jalan seperti sekarang ini. Namun saya masih ingin berjuang. Saya belum akan pindah sebelum mendapat keadilan,” ujar Dewi meneteskan air mata saat berbincang dengan Solopos.com di tepi Jl. Yosodipuro, Selasa (4/7/2017) pukul 11.30 WIB.

Dewi tinggal di tepi Jl. Yosodipuro terhitung sejak bangunan rumah yang selama ini dia tinggali dikosongkan pada 13 Juni lalu oleh utusan Pura Mangkunegaran. Perempuan yang bekerja serabutan itu tidak punya kuasa melawan 20-an orang yang menggeruduk rumahnya kala itu.

Dia kemudian nekat bertahan hidup di ruang terbuka, tidak memilih tinggal di tempat suadara maupun mengontrak rumah karena tengah berupaya membuktikan dirinya menginginkan rumahnya kembali. Dewi menyimpan segala barang perabotan rumah tangga seperti lemari, tempat tidur, perkakas dapur, hingga perlengkapan mandi di lahan kosong di belakang tembok kompleks rumahnya.

Sedangkan untuk tidur, Dewi memilih tepi Jl. Yosodipuro dekat lahan yang sempat dia rawat. Hal itu Dewi lakukan sebagai pembuktian dirinya betul-betul ingin kembali tinggal di rumah yang telah ditempatinya sejak lahir.

Untuk mendapatkan air bersih, Dewi dan keluarganya kini harus meminta kepada tetangga atau orang lain. Begitu juga ketika mereka ingin mandi cuci kakus (MCK) harus menumpang di tempat tinggal orang lain atau mencari fasilitas umum.

Keluarga Dewi kini juga tidak bisa mengakses manfaat listrik setelah tinggal di luar rumah. Untuk mengisi tenaga baterai handphone, mereka bahkan terpaksa membayar ke konter terdekat.

Dewi mengklaim tanah dan bangunan di Jl. Yosodipuro No. 1-5, Timuran, tersebut merupakan barang warisan kakeknya, almarhum Kadimoen, yang telah menempati lokasi itu sejak 1950 berdasarkan titah Kanjeng Gusti Mangkunagoro VIII. Menurut dia, selain sebagai tempat tinggal, tanah dan bangunan tersebut sempat digunakan juga sebagai sekolah SMP Siswa di mana kakeknya menjabat sebagai ketua yayasan sekaligus kepala sekolah.

“Seharusnya kami mempunyai hak mengajukan permohonan atas tanah yang kami tempati karena kami sudah mengurus lebih dari 20 tahun. Bangunan dan rumah yang kami tempati dibangun orang tua kami sendiri, bukan dari Mangkunegaran. Namun, sekarang bangunan itu telah dirobohkan. Anak saya pingsan saat menyaksikan awal pengosongan rumah,” ujar Dewi.

Dewi mengaku sempat ditawari kompensasi oleh orang dari Pura Mangkunegaran berupa tempat tinggal pengganti jika mau meninggalkan rumah di Timuran itu. Namun, dia menolak karena rumah yang ditawarkan berada di luar Solo.

Dewi khawatir sulit mendapatkan pekerjaan jika pindah ke luar kota. Dia juga takut tidak bisa menyelolahkan kedua anaknya karena selama tinggal di Solo mengandalkan bantuan pemerintah.

“Permohonan saya sederhana. Saya ingin mendapatkan sebagian lahan di sini [Jl. Yosodipuro No. 1-5 Timuran]. Atau setidaknya saya mendapatkan rumah yang masih berada di wilayah Solo. Saya tidak masalah jika lahan dan rumah akan digunakan Kanjeng Gusti [Mangkunagoro]. Namun, saya juga meminta keadilan. Kini saya sudah melayangkan surat ke Pemkot, DPRD, dan Polresta Solo untuk meminta perlindungan,” terang Dewi.

Saat dimintai konfirmasi, Pelaksana Tugas Pengageng Kabupaten Mondropuro Mangkunegaran, R.T. Supriyanto Waluyo, menyebut rumah yang selama ini ditempati Dewi Sulistyorini dan keluarganya adalah rumah tenggan atau rumah dinas. Dia mengatakan Pura Mangkunegaran berhak mengambil alih kembali rumah tenggan sewaktu-waktu diperlukan.

Supriyanto menegaskan kebijakan itu bukan saja berlaku bagi rumah yang ditempati keluarga Dewi melainkan juga keluarga abdi dalem lain terutama yang tidak lagi mengabdi ke Mangkunegaran. “Dulu pada zaman Mangkunegoro VIII, bangunan itu digunakan sebagai sekolah. Kemudian Kanjeng Gusti mengutus Bapak Kadimoen untuk menjaga sekolah sehingga berhak menempati rumah dinas. Rumah itu sekarang dipahami sebagi warisan. Padahal bukan. Itu rumah tenggan. Kalau dibutuhkan, harus dikembalikan ke Mangkunegaran,” jelas Supriyanto ditemui Solopos.com di ruang kerjanya, Selasa sore.

Supriyanto mengatakan Pura Mangkunegaran sudah jauh-jauh hari memberi tahu keluarga Dewi untuk mengosongkan lahan DMN No. 13 tersebut. Dia menyebut Pura Mangkunegaran juga sudah menawarkan kompensasi berupa tempat tinggal baru siap pakai senilai kurang lebih Rp200 juta di Desa Gumpang, Kartasura, Sukoharjo.

Namun, lanjut Supriyanto, Dewi menolak tawaran tersebut. Dia meminta Dewi memikirkan kembali tawaran Pura Mangkunegaran.

“Di Mangkunegaran, penggunaan rumah bisa sak matine [sampai mati]. Kecuali ada yang melakukan kesalahan. Ora ana sing diwariske ke anak [tidak ada yang diwariskan ke anak]. Kecuali keturunannya jadi abdi dalem. Sementara keturunannya Bapak Kadimoen yang masih hidup sekarang tidak ada lagi yang aktif menjadi abdi dalem Mangkunegaran. Kami sudah menawarkan rumah baru. Kuwi penak bisa entuk umah [Itu enak bisa dapat rumah]. Kene kudu nyelengi ben iso nggo golet umah dewe [Kami harus menabung untuk mendapat rumah],” ujar Supriyanto.

Disinggung soal pemanfaatan lahan di Jl. Yosodipuro No. 1-5 Timuran yang telah rata dengan tanah, Supriyanto hanya menyebut akan digunakan untuk pengembangan layanan Mangkunegaran kepada masyarakat di bidang pendidikan. Dia memastikan Pura Mangkunegaran tidak asal menggusur keluarga Dewi.

Supriyanto menyebut Pura Mangkunegaran telah mengirim surat panggilan pada 22 Maret lalu. Kemudian mengirimkan surat peringatan I pada 27 Mei karena Dewi melanggar perintah tidak meninggalkan dan mengosongkan rumah. Setelah itu, SP II dikirim pada 3 Juni, dan SP III dikirim pada 10 Juni.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya