Promosi Beli Emas Bonus Mobil, Pegadaian Serahkan Reward Mobil Brio untuk Nasabah Loyal
Salah satunya adalah menjadi korban penggusuran. Saat usianya enam tahun, keluarganya yang saat itu tinggal di Ngebusan, Kestalan, Banjarsari, kawasan belakang RRI Solo harus tergusur dari rumah mereka. Kebetulan saat itu di tahun 1966 sang ayah yang berprofesi sebagai masinis baru saja meninggal dunia. Keluarganya pun pindah ke Pucangsawit, Jebres. Kondisi sangat sulit bagi keluarga besar Rudy. “Saat itu makan dua kali sehari saja sudah terasa sangat mewah,” kenang Rudy dalam perbincangan dengan Solopos.com beberapa waktu lalu.
Di Pucangsawit pun mereka kembali mengalami penggusuran. Akhirnya dengan tabungan uang pensiun mendiang sang ayah, keluarganya membeli tanah dan di atasnya dibangun rumah sederhana. Sejak di rumah itu, Rudy sejak kecil membantu ibunya berjualan sayur di Pasar Tanggul. kadang-kadang ia juga bergabung dengan temannya yang menjadi pengamen dan sudah punya lokasi tetap di rumah makan. Untuk menyambung sekolahnya, Rudy pun bekerja sambilan sebagai kondektur bus.
Berkaca pada pengalaman pribadinya, ketika akhirnya masuk ke dalam jajaran pemerintahan, Rudy tak mau trauma penggusuran juga dialami warga lain. Ia pun bertekad hanya melakukan penggusuran dengan cara yang manusiawi. “Saya tidak mau rakyat mengalami apa yang saya rasakan, digusur dua kali tanpa mendapat ganti apa pun,” tegasnya.
Meski sekolahnya terhenti sampai tamat STM, Rudy juga tak mau hal serupa dialami anak-anaknya. Dia berjuang agar kelima anaknya bisa menamatkan pendidikan sarjana. “Dulu saya dibilang nakal ya nakal. Tetapi kenakalan saya waktu itu untuk menuju kebenaran, bukan untuk mencari-cari sesuatu yang tidak jelas,” katanya.