SOLOPOS.COM - Ilustrasi (kantorberitapendidikan.net)

Ilustrasi (kantorberitapendidikan.net)

SEMARANG – Pakar pendidikan Universitas Negeri Semarang Doktor Nugroho menilai sisi positif yang selama ini dikembangkan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) harus terus dilanjutkan.

Promosi Digitalisasi Mainkan Peran Penting Mendorong Kemajuan UMKM

“Meski RSBI sudah ‘almarhum’ dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), sisi positif yang ada di RSBI harus dilanjutkan. Kan tidak semua yang ada di RSBI jelek,” katanya. Hal itu diungkapkannya menanggapi keputusan MK yang membatalkan Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur penyelenggaraan RSBI dan sekolah bertaraf internasional.

Menurut dia, banyak aspek-aspek positif yang selama ini dikembangkan RSBI, terutama menyangkut manajemen tata kelola, budaya mutu, dan kedisplinan yang berkontribusi baik untuk penyelenggaraan pembelajaran. Di sisi lain, dia mengakui memang ada sisi negatif keberadaan RSBI, di antaranya potensi liberalisme pendidikan dengan memberi kebebasan RSBI menarik pungutan pada orang tua siswa, berbeda dengan sekolah non-RSBI.

Ia mengungkapkan keberadaan RSBI bisa menimbulkan disparitas yang sangat mencolok antara siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu sebab yang kemudian mengenyam pendidikan RSBI dari kalangan berada. “Memang ada ketentuan RSBI harus menyediakan kuota 20 persen bagi siswa tidak mampu. Persoalannya, apakah kemudian siswa tidak mampu mau bersekolah di RSBI? Pasti ada beban secara psikologis,” katanya.

Kenyataannya, kata dia, kuota 20 persen yang disediakan RSBI bagi siswa kurang mampu selama ini tak pernah terpenuhi sebab anak dari keluarga tidak mampu secara psikologis akan berpikir ulang untuk masuk ke RSBI. “Kalau terus-menerus seperti itu, pendidikan bermutu hanya bisa diakses kalangan mampu, hanya orang mampu yang terus menjadi kaum juragan, pengusaha. Anak tidak mampu hanya menempati posisi kelas buruh,” katanya.

Meski demikian, dia mengatakan tetap ada sisi baik RSBI, misalnya, budaya mutu guru dalam pembelajaran yang lebih aktif mengoreksi, memberi komentar, mengembalikan hasil pekerjaan siswa yang selama ini ada di RSBI. Program sister school di RSBI berupa jaringan kerja sama dengan sekolah di negara-negara maju, kata dia, juga harus terus dikembangkan meski RSBI sudah tidak ada, mengingat pentingnya untuk memajukan mutu pendidikan.

“Ini tidak ada kaitannya dengan uang. Sekarang pengembangan kedisiplinan, apa butuh uang? Bahkan, program sister school pun bisa dikelola dengan pendanaan terbatas, yakni memanfaatkan kemajuan teknologi,” katanya. Program sister school bisa dijalankan tanpa harus berkunjung ke sekolah maju di luar negeri, kata Nugroho, cukup dengan memanfaatkan teknologi komunikasi untuk berhubungan, seperti lewat surat elektronik atau teleconference.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya