SOLOPOS.COM - Sejumlah siswa mengikuti tes tertulis seleksi penerimaan siswa SMAN 1 Solo yang merupakan salah satu RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional). Mahkamah Konstitusi hari ini menyatakan RSBI melanggar konstitusi sehingga harus dihentikan. (JIBI/SOLOPOS/Burhan Aris Nugraha)

Sejumlah siswa mengikuti tes tertulis seleksi penerimaan siswa SMAN 1 Solo yang merupakan salah satu RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional). Mahkamah Konstitusi hari ini menyatakan RSBI melanggar konstitusi sehingga harus dihentikan. (JIBI/SOLOPOS/Burhan Aris Nugraha)

JAKARTA – Dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus sistem Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), maka ke depan sekolah-sekolah negeri berkualitas dapat diakses oleh seluruh warga.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Pengamat pendidikan, Darmaningtyas mengatakan dengan dihapusnya sistem RSBI dan SBI, maka dipastikan sekolah-sekolah berkualitas dapat diakses seluruh warga yang lolos tes ujian masuk, karena tidak ada lagi pungutan-pungutan khusus seperti pada saat RSBI. “Yang penting adalah harus dijaga agar pemerintah tidak membuat eksperimen sejenis yang akhirnya hanya ganti baju saja,” ujarnya kepada Bisnis.com melalui pesan singkat.

MK membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur program penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional. “Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa.

Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan berbunyi Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Dalam pertimbangannya, MK memahami konsep SBI sebagaimana dimaksudkan dalam UU Sisdiknas untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar peserta didik memiliki daya saing tinggi dan kemampuan global, karena Indonesia sebagai negara besar mau tidak mau harus mampu berperan aktif dalam percaturan global.

“Walaupun demikian, menurut Mahkamah maksud mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi tidak semata-mata mewajibkan negara memfasilitasi tersedianya sarana dan sistem pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang memiliki kemampuan yang sama dengan negara-negara maju, tetapi pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa. Pendidikan nasional tidak bisa lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia,” kata Hakim Konstitusi Anwar Usman, saat membacakan pertimbangannya.

Selain itu, kata Anwar, dengan pembedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI, baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan, akan melahirkan perlakuan berbeda antara kedua sekolah tersebut termasuk terhadap siswanya. “Pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah,” katanya.

Mahkamah juga mengatakan program RSBI/SBI cenderung hanya keluarga dengan status ekonomi mampu dan kaya yang dapat menyekolahkan anaknya pada sekolah SBI/RSBI, walaupun terdapat perlakuan khusus dengan memberikan beasiswa kepada anak-anak dengan latar belakang keluarga kurang mampu secara ekonomi untuk mendapat kesempatan bersekolah di SBI/RSBI.
“Tetapi hal itu sangat sedikit dan hanya ditujukan pada anak-anak yang sangat cerdas, sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin untuk bersekolah di SBI/RSBI.”

MK menyebutkan pendidikan berkualitas menjadi barang mahal yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu secara ekonomi sehingga bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjadikan penyelenggaraan pendidikan sebagai tanggung jawab negara.

Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan diuji oleh sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan ke MK karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Para pemohon tersebut adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan). Para pemohon merasa dirugikan hak konstitusional karena praktiknya terjadi diskriminatif dan sangat sulit dan mahal untuk menyekolahkan anak-anaknya di RSBI.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya