SOLOPOS.COM - Hiasan untuk Dhaup Ageng (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Harianjogja.com, JOGJA-Abdi dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridomardowo (Departemen dan Kesenian), KRT Wasesa Winoto mengatakan,  terdapat dua tarian seremonial yakni Beksan Lawung Agung dan Bedoyo Manten yang akan dihadirkan dalam pernikahan GKR Hayu dengan KPH Notonagoro.

Para penari sudah berlatih optimal dan siap untuk ditampilkan pada resepsi Rabu (23/10/2013) pagi di Kepatihan. “Bahkan Beksan Lawung Agung pada Sabtu sudah latihan final. Pada Minggunya gantian yang latihan Bedoyo Manten di tempat yang sudah ditentukan mereka sendiri,” katanya KRT Wasesa Winoto kepada Harian Jogja, Sabtu (19/10/2013).

Promosi Pembunuhan Satu Keluarga, Kisah Dante dan Indikasi Psikopat

Waseso menjelaskan Beksan Lawung Agung akan dimainkan sebanyak 16 penari lelaki. Sebelum tampil di hadapan pengantin mereka datang dari Kraton menuju Kompleks Kepatihan menggunakan kuda. Sementara, Bedoyo Manten dimainkan sebanyak enam penari wanita yang juga berangkat dari Kraton menuju Kepatihan namun berbeda dengan Beksan Lawung Agung, mereka datang dengan mengunakan kereta.

“Saat tampil nanti urutannya Beksan  Lawung Agung dahulu, habis itu baru disusul Bedoyo Manten. Masing-masing tampil selama 40 menit,” ucapnya.

Menurut Waseso, Tari Beksan Lawung Agung dan Bedoyo Manten ini sejatinya merupakan simbolisasi kehadiran Sultan Hamengku Buwono X dalam menyapa tamu undangan di Kepatihan. Awal mulanya tari ini disuguhkan kepada para tamu sebagai bentuk sapa Sultan yang tidak datang ke Kepatihan.

“Tapi sejak pernikahan Jeng Reni dan Ubay Sultan juga turut hadir dan menyaksikan tari itu. Ini inisiatif Sultan sebagai raja sekaligus sebagai gubernur yang harus ikut di Kepatihan dan menyapa tamu,” bebernya.

Tari Bedoyo Manten menghadirkan simbolisasi gerak pasangan pengantin Kraton Jogja ketika baru kenal kemudian memadu kasih hingga akhirnya menuju ke jenjang pernikahan. Tari Bedoyo Manten ditarikan oleh enam wanita. Dua wanita berperan sebagai sepasang pengantin sementara empat penari lainnya memerankan diri sebagai penari srimpi. Sementara itu, Tari Lawung Ageng adalah tari Kraton Jogja yang menghadirkan simbolisasi para prajurit Kraton sedang berlatih perang.

Sementara itu, ada beberapa alat gamelan untuk mengiringi Lawung Ageng yang di luar Kraton tidak ada. Alat musik itu adalah Slentho yang cara membunyikannya dengan dipukul. Adapun penari yang tampil, kata Waseso, berasal dari latar belakang yang beragam. Ada yang mahasiswa, dosen, siswa SMKI, maupun penari yang ada di lingkungan Kraton. “Ini juga menjadi bentuk demokratisasi Kraton yang membebaskan penari dari luar untuk juga tampil dalam seremonial ini,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya