SOLOPOS.COM - Kiai Sadrach (Instagram/@aebookstore)

Solopos.com, PURWOREJO — Perkembangan agama Kristen di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Jika biasanya misionaris berasal dari kalangan bangsa Eropa, ada salah satu tokoh penginjik di Jawa Tengah yang justru berasal dari kalangan pribumi. Dia adalah Kiai Sadrach.

Pria kelahiran Jepara pada 1835 dikenal sebagai salah satu misionaris di Pulau Jawa. Meskipun berstatus sebagai misionaris, dia tetap memakai gelar kiai, karena duluny adalah seorang muslim yang memiliki banyak pengikut.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Dihimpun dari Wikipedia, Rabu (21/12/21), Kyai Sadrach lahir dengan nama Radin. Dia pernah menimba ilmu agama Islam dengan berguru di pesantren yang ada di Jombang, Jawa Timur dan mendapatkan nama tambahan Abas sehingga saat itu dia dikenal dengan nama Radin Abas.

Baca Juga: Gua Maria Kaliori Banyumas, Wisata Religi Nasrani Terbesar di Indonesia

Selepas belajar agama Islam di pesantren Jombang, Jawa Timur, dia hijrah ke Semarang dan bertemu dengan seorang penginjil yang bernama Hoezoo. Radin Abas pun ikut kelas Katekisasi yang diajarkan oleh Hoezoo tersebut.  Di kelas Katekisasi, dia bertemu dengan orang tua bernama Ibrahim Tunggul Wulung berasal dari daerah yang sama dengan dirinya, Bondo, Keresidenan Jepara. Semenjak perkenalan tersebut, Radin menyatakan kehendaknya menjadi murid Tunggul Wulung.

Menjadi Penginjil di Jawa

Setelah menjadi murid Tunggul Wulung, mereka berdua sempat berpergian ke Batavia (kini Jakarta). di sana, Radin dibabtis pada 14 April 1867 dan menjadi anggota gereja Zion Batavia yang beraliran Hervorm. Saat dibabtis, dia berusia 26 tahun dan diberi nama baptis Sadrach. Semenjak saat itu, dia tidak lagi dipanggil Radin Abas, melainkan Sadrach.

Setelah memeluk keyakinan baru, Sadrach diberi tugas untuk menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen dari rumah ke rumah di seputar Batavia. Setelah tugasnya selesai, dia kembali ke Semarang. Saat itu,  Tunggul Wulung telah mendirikan beberapa desa Kristen, yaitu Banyuwoto, Tegalombo, dan yang paling terkenal adalah Desa Bondo, Jepara Utara.

Baca Juga: Patung Bunda Maria Tertinggi Se-Asia Ada di Ambarawa

Sadrach juga sempat menjadi pemimpin jemaat Bondo membantu Tunggul Wulung yang berkeliling untuk menarik orang-orang tinggal di Bondo. Setelah Tunggul Wulung kembali ke Bondo, Sadrach pun keluar dari Bondo dan berkeliling di Kediri, Jawa Timur saat berusia 35 tahun hingga akhirnya melabuhkan diri ke Purworejo, Jawa Tengah

Di Purworejo, Kiai Sadrach diangkat anak oleh seorang pendeta bernama Steven Philips. Dia tinggal di Purworejo pada 1869 dan setelah satu tahun, dia pindah ke Karangjasa, 25 kilometer sebelah selatan Purworejo. Kepindahannya ini adalah bentuk kemandirian khas orang Jawa untuk merdeka dan berkarya tanpa adanya pengawasan dari ayah angkatnya.

Orang pertama yang berhasil dikristenkan oleh Sadrach adalah Ibrahim, warga Desa Sruwoh setelah melalui debat umum. Orang kedua yang dikristenkan adalah Kasanmetaram yang dikenal luas saat itu. Metode yang digunakan juga sama, yaitu debat yang berlangsung hingga beberapa hari lamanya. Mereka yang telah dikristenkan oleh Sadrach dibabtis oleh pendeta dari pekabar Injil Belanda.

Baca Juga: Lokalisasi Mojodadi Kudus: Mojok Langsung Dadi

Karena memiliki kecerdasan yang tinggi hingga selalu menang dalam perdebatan dan juga penguasaan akan ilmu-ilmu kanuragan, Kiai Sadrach pernah ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap sebagai ancaman politik yang potensial karena memiliki pengaruh yang kuat di kalangan pribumi. Namun karena tidak ada bukti ancaman tersebut, akhirnya Sadrach dibebaskan setelah tiga bulan mendekam di penjara.

Dalam pengajarannya, Sadrach menggunakan metode simbol. Salah satu simbol yang digunakan adalah sapu. Melalui simbol sapu tersebut, dia mengajarkan kepada jemaat untuk bersatu dan kuat, terikat satu sama lain dan tertanam pada pribadi Tuhan yang tereinkarnasi melalui Yesus Kristus (Nabi Isa AS). Pengajaran dengan simbol ini adalah salah satu aspek penting dalam kebudayaan Jawa sehingga sebuah pengajaran dapat diterima dan dimengerti dengan baik.

Sadrach meninggal dunia pada 14 November 1924 dalam usia 90 tahun. Dia meninggal dengan nama Radin Abas Sadrach Supranata. Saat upacara pemakamannya, hadir para tokoh-tokoh pemerintahan, seperti Bupati Kutoarjo dan Kulonprogo. Kehadiran tokoh-tokoh pemerintahan tersebut adalah bukti bahwa Sadrach sangat dikenal luas pada zaman itu.

Baca Juga: SMS Pertama di Dunia “Selamat Natal” Terjual Rp1,7 Miliar

Gereja Kiai Sadrach

GKJ Karangjasa Kyai Sadrach Purworejo (Instagram/@pramastutimarwita)

Salah satu peninggalan Kiai Sadrach berupa gereja yang ada di Purworejo.  Dilansir dari kemendikbud.go.id, gereja dengan nama Gereja Kyai Sadrach didirikan pada 1870 yang bentuknya mirip masjid.

Gereja ini memiliki jendela bagian atas berupa kreyak dan bagian bawah panil dengan bentuk daun jendela kupu-kupu. Motif hias yang terdapat gereja tersebut adalah motif geometris, langit-langit ruangan aslinya terbuat dari bambu namun sekarang sudah diganti dengan tripleks, Atapnya berbentuk tajug tingkat tiga dan limasan serta kampong.

Ada juga rumah induk dan pendopo peninggalan Kiai Sadrach dengan benda-benda peninggalan di dalamnya, berupa tempat tidur, almari, meja, buku/naskah kuno dan benda-benda lainnya. Selain bentuknya yang menyerupai masjid, keunikan lain dari gereja ini adalah tidak ada lambang agama Kristen seperti salib. Gereja ini justru menggunakan lambag senjata cakra di atas atapnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya