SOLOPOS.COM - Gunung Sanggabuana, Karawang. (Detikcom)

Solopos.com, KARAWANG — Video berdurasi 59 detik memperlihatkan 3 orang tengah mengumpulkan celana dalam di Pegunungan Sanggabuana, Kabupaten Karawang, Jawa Barat (Jabar) jadi perbincangan warganet. Banyak netizen heran dengan kelakuan peziarah yang membuang celana dalam di kawasan pegunungan itu.

Terlebih lagi, celana dalam yang dibuang rata-rata milik perempuan. Video diunggah akun Instagram @info_karawang dan dibagikan banyak akun media sosial hingga ditonton lebih dari 2.000 penonton. Ritual membuang celana dalam dilakukan saat bulan Maulid atau Rabiulawal. Ritual buang celana dalam di Pegunungan Sanggabuana diyakini dapat membuang sial.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Baca Juga : Ritual Buang Celana Dalam saat Bulan Maulid di Karawang

Terlepas dari kegaduhan di media sosial, Solopos.com menghimpun informasi dari berbagai sumber. Gunung Sanggabuana terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu utara ada Kabupaten Karawang, timur ada Kabupaten Purwakarta, selatan ada Kabupaten Cianjur, dan barat ada Kabupaten Bogor.

Ketinggian gunung sekitar 1291 mdpl dan merupakan gunung tertinggi dan satu satunya di Karawang. Gunung Sanggabuana disebut menjadi salah satu kompleks tempat latihan TNI, yaitu Sanggabuana, Cibenda, dan Jatiluhur.

Diusulkan Taman Nasional

Bahkan, Komisi IV DPR RI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sepakat mengusulkan kawasan Pegunungan Sanggabuana menjadi taman nasional pada akhir September lalu. Tidak hanya itu, Pegunung Sanggabuana menjadi lokasi ekspedisi flora dan fauna.

Baca Juga : Wali Kota Makassar: Nakes Pembuat Surat Vaksinasi Palsu Akan Dipecat

Ketua Ekspedisi Flora dan Fauna Pegunungan Sanggabuana, Bernard T. Wahyu, mengatakan selama penjelajahan tim menemukan 4 mata air untuk ritual, yakni Pancuran Mas, Pancuran Kejayaan, Pancuran Kahuripan, dan Pancuran Sumur Tujuh. Tim juga mendata 14 makam.

Beberapa makam diberi nama, seperti Makam Eyang Haji Ganda Mandir, Taji Malela, Kyai Bagasworo, Ibu Ratu Galuh, Eyang Abdul Kasep, Eyang Sapujagat, Eyang Langlang Buana, Eyang Jagapati, dan Eyang Cakrabuana. “Dari 4 mata air dan 14 makam itu dipakai ritual buang sial,” tutur Bernard yang juga Wildlife Photographer, seperti dilansir Detikcom, Selasa (26/10/2021).

Pernyataan Bernard diamini warga Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru, Solihin, 36. Dia menuturkan fenomena buang celana dalam itu sering dilakukan peziarah dan pengunjung atau pendatang saat bulan Mulud (Maulid). Mereka mempercayai mitos buang sial di Pegunungan Sanggabuana.

Baca Juga : Awas! Penyakit Polio Intai Indonesia, Ini Penjelasan Satgas IDAI

“Buang celana dalam itu memang sudah menjadi ritual yang dilakukan oleh peziarah saat bulan Mulud (Maulid). Pengunjung atau pendatang kalau selesai dari Pegunungan Sanggabuana, katanya membuang sial,” kata Solihin yang aktif juga sebagai pendaki, Selasa (25/10/2021).

Merusak Ekologi

Bernard juga menyebut setiap ritual dikenakan tarif perorangan yang dipandu kuncen. “Itu Rp250.000 buat memandu ritual dan ubo rampe. Ada yang gratis tapi hanya sekadar mandi di pancuran lalu buang celana dalam dan pakaian lalu balik,” kata dia.

Dia berharap pihak terkait dapat mengkaji mendalam tentang sejarah dan budaya banyak makam dan makom atau petilasan di Pegunungan Sanggabuana. “Apakah makam dan makom itu memiliki potensi cagar budaya atau kesejarahan? Ini perlu kajian lebih dalam karena semakin lama malah menjamur ritual,” ucapnya.

Dia juga meminta pemerintah menertibkan praktik ritual membuang celana dalam di Pegunungan Sanggabuana. Pertimbangannya ritual tersebut merusak ekologi.

Baca Juga : Sejarah Hari Ini : 26 Oktober 2010, Gunung Merapi Meletus Dahsyat

“Sampah celana dalam atau lainnya. Secara ekologi tidak baik karena mengotori Pegunungan Sanggabuana. Sampah pakaian dalam mengotori aliran air. Para peziarah ini dalam kondisi sehat atau tidak? Pengunjung dari berbagai kalangan pekerja yang berharap berkah dari pancuran ini dan jika sedang tidak sehat bisa menyebarkan penyakit menular,” ujarnya.

Di khawatir ritual tersebut akan bertahan dan melekat sehingga menjadi keyakinan baru. “Kami berharap pemerintah segera melakukan tindakan atau upaya penertiban praktik ritual yang merugikan ekologi. Kalau tidak segera ditindaklanjuti ritual ini akan selamanya bertahan dan malah melekat. Bisa jadi keyakinan baru.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya