SOLOPOS.COM - Tari ngguk saat dipentaskan di Tembi Rumah Budaya, Senin (4/11/2013) malam. (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Harianjogja.com, BANTUL—Sepuluh perempuan mengenakan kostum baju hitam, celana pendek hitam berhias bordiran benang emas lengkap dengan topi pet, berbaris di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Jl. Parangtritis, Senin (4/11/2013) malam.

Dengan diiringi beragam alat musik seperti terbang, kendang, bedug, para penari bergerak sangat sederhana tak banyak variasi.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Lenggang kanan, lenggang kiri, tepuk-tepuk, sorong kanan, sorong kiri, membungkuk-bungkuk, bersedekap, dan berdiri, begitu seterusnya.

Tak lama kemudian, salah seorang penari mendadak kesurupan. Kali ini, penari itu menari dengan gerakan yang lebih luwes dan dinamis, mengikuti lantunan syair campuran Indonesia, Jawa dan Arab.

Inilah gambaran pentas tari angguk yang dilakukan kelompok kesenian Rukun Sida Lancar asal Purworejo, Jawa Tengah, saat tampil di Tembi Rumah Budaya. Kelompok itu tampil di hadapan ratusan penonton, turut meramaikan perayaan Tahun Baru Islam 1435 Hijriah atau Malam 1 Sura.

“Seperti halnya keris yang dikeluarkan saat Malam 1 Sura, kami sebagai pelaku seni juga harus tampil pada 1 Sura,” kata Sumirun, pimpinan kelompok seni Rukun Sida Lancar, Senin malam seusai pentas.

Menurut Sumirun, tarian Angguk diilhami dari gerak baris-berbaris prajurit Belanda. Tak heran jika kostum yang dikenakan para penari mirip dengan seragam serdadu Belanda.

“Walaupun kostum mirip serdadu Belanda, tapi sebenarnya tari ini mengusung pesan penuh sindiran terhadap penjajah Belanda,” ujar Sumirun.

Tari Angguk sebenarnya dimainkan sebagai tarian pergaulan para remaja dan biasa digelar setelah musim panen tiba, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.

Tarian ini pada mulanya dimainkan oleh kaum laki-laki namun seiring perjalanan waktu tepatnya pada dekade 1970-an, terjadi pergeseran, sehingga angguk dimainkan kaum perempuan. Nama tari angguk sendiri diambil dari gerakan para penari yang selalu mengangguk-anggukkan kepala.

Selain tari angguk, dipentaskan pula kesenian jaran kepang oleh kelompok Turangga Jati Agung Budaya asal Purworejo, Jawa Tengah, pimpinan Slamet Sumitro. Usut punya usut, kedua kelompok seni tersebut memang sengaja dihadirkan secara berbarengan karena sama-sama berasal dari Desa Sumberagung, Kecamatan Grabag, Purworejo.

Kedua kelompok seni ini berada di bawah naungan Paguyuban Trah Prabu Brawijaya V dan Brayat Ageng Majapahit (PTBM) pimpinan Y. Agus Setianto atau KRT Mangun Werdaya, abdi dalem Keprajan Kraton Jogja.

“Dua kelompok ini masih eksis mempertahankan kesenian warisan leluhur. Maka pada malam 1 Sura kesenian itu harus disuguhkan kepada publik,” ungkap Agus Setianto, pimpinan Paguyuban Trah Prabu Brawijaya V kepada wartawan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya