SOLOPOS.COM - Kirab Mubeng Beteng (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto/ilustrasi)

Harianjogja.com, JOGJA-Ritual tapa bisu dan mubeng beteng yang dilakukan warga DIY pada malam 1 Sura, kehilangan makna di kalangan generasi muda. Meski demikian, tradisi sebagai wujud persatuan umat itu harus dipertahankan.

Suasana Alun-alun Utara, Senin (4/11/2013) malam tak ubahnya seperti pasar malam. Di bagian tengah, agak ke sisi timur, beberapa deret pedagang kaki lima, mempromosikan dagangannya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Suara itu bersahut-sahutan dengan riuh tawa remaja yang asyik bersenda gurau, tidak jauh dari tempat tersebut. Satu-dua pasangan, bahkan asyik bermesra-mesraan di atas jok sepeda motor. Bergeser agak ke barat, di dekat pohon beringin kembar, ada kerumunan warga yang asyik menyaksikan demonstrasi penjual obat.

Padahal persis di depan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tengah berlangsung acara doa dan pujian yang dipimpin Romo Triatmojo dari Forum Kerukunan Umat Beriman (FKUB) Jogja, kemudian disusul kidung Jawa, sebelum melepas pusaka tombak golong-giling yang dibawa para abdi dalem mengitari Benteng Kraton.

Bagi anak muda Jogja, ritual tapa bisu dengan mengitari benteng, tidak lebih sebagai suatu warisan budaya yang perlu dipertahankan. Namun, jika bertanya soal makna filosofi dan spritualnya, mereka mulai kebingunan menjawabnya.

Tindo Sofi Aulia, misalnya. Gadis berusia 18 tahun yang ditemui di sela-sela ritual doa bersama itu mengaku, meski berasal dari Jogja, ia belum pernah datang dan menyaksikan acara tersebut. Malam itu ia datang karena diajak rekan-rekannya yang berasal dari luar DIY.

“Kalau ritual Sura seperti lek-lekan, saya tidak melakukannya. Tapi dulu kakek-nenek saya melakukan hal seperti itu. Ya ini soal kepercayaan sih ya, terserah kepada masing-masing individu,” kata dia sambil tersenyum memamerkan deretan gigi putih dan rapi.

Selma,19, juga mengungkapkan kesan yang. Dari sisi budaya, tradisi tapa bisu Mubeng Beteng perlu dilestarikan.

Tapi kalau menyangkut kepercayaan dan ritual lainnya, menurut dia, hal itu berpulang kepada setiap individu. Dia mengaku tidak begitu memahami makna spiritual dan filosofis dari ritual tahunan tersebut.

Suryanto, 28, salah seorang peserta ritual tapa bisu yang sempat diwawancarai sebelum pelaksanaan ritual mengaku baru kali ini mengikuti tradisi itu. Motivasinya hanya karena banyak rekan se-organisasi yang turut berpartisipasi. “Motivasi spritual dan makna filosofinya apa ya?,” tanya dia kebingungan.

Suyudi Wagiman, 50, warga Bener, Tegalrejo mengakui, banyak anak muda di lingkungan rumahnya, turut berpartisipasi dalam ritual Sura setiap tahunnya. Namun kehadiran kaum muda, menurut dia, lebih untuk menyemarakkan kegiatan tersebut. Dia menyangsikan, ada makna spritual dan filosofis yang dipahami kaum muda.

“Di lingkungan saya tradisi Sura masih jalan. Ya diikuti orang-orang tua dan ada juga anak muda, tapi mereka hanya mengikuti saja, kalau saya pribadi, melakoni tradisi ini karena saya orang Jawa dan orang Jogja. Jadi tradisi Kraton saya ikuti dengan permohonan meminta keselamatan lingkungan, keluarga dan rakyat,” ungkap Suyudi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya