SOLOPOS.COM - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) didampingi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono (kiri) serta Gubernur Jateng Ganjar Pranowo meninjau jalan tol Semarang-Solo, wilayah Tuntang, Kabupaten Semarang, Jateng, Jumat (17/2/2017). (JIBI/Solopos/Antara/Aji Styawan)

Risiko BUMN gagal bayar membayangi keuangan negara. Pasalnya rasio utang negara bisa menembus 60% PDB.

Solopos.com, JAKARTA — Keuangan negara berpotensi terusik dengan risiko gagal bayar utang dari BUMN yang sedang menjalankan proyek pemerintah. Selama ini, Pemerintah selalu menyebutkan bahwa rasio utang Indonesia cukup aman dan terkendali.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Bahkan, Menteri Keuangan sendiri menyebutkan bahwa rasio utang terhadap PDB masih jauh dari ambang batas maksimal seperti yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara, yakni sebesar 60%.

Namun, selain menanggung utang pemerintah, negara juga rupanya memiliki tanggung jawab untuk menanggung utang BUMN jika terjadi gagal bayar. Berkaca pada surat Menteri Keuangan yang ditujukan kepada Kementerian ESDM dan BUMN serta ditembuskan pada Direktur Utama PT PLN, pemerintah harus menekan lonjakan utang perusahaan BUMN.

Data Bank Indonesia menyebutkan per triwulan I total utang BUMN sudah mencapai Rp4.091,71 triliun. Nilai tersebut terdiri atas financial public corporation debt senilai Rp3.496,12 triliun dan non financial public corporation debt senilai Rp595,6 triliun.

Menanggapi hal itu, ekonom Institute for Development Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan tanggungan utang negara bisa bertambah Rp4.091 triliun dari BUMN.

“Nah kalau rasio utang terhadap PDB mau dihitung ulang. Jadinya utang Pemerintah Rp3.825 triliun plus utang BUMN Rp4.091 triliun sama dengan Rp 7.916 triliun. Artinya dengan asumsi PDB Rp12.406,8 triliun, rasio utang mencapai 63,8%, itu sudah lampu kuning,” katanya, Kamis (28/9/2017).

Di sisi lain, dia juga menyebutkan adanya risiko yang cukup tinggi dalam utang BUMN, khususnya yang nonkeuangan. Pasalnya, 51% utang BUMN nonkeuangan adalah milik asing dengan besaran senilai Rp304.61 triliun. Di samping itu, 59,8% utang berbentuk valas juga diprediksi rentan terhadap fluktuasi kurs.

“Ini yang jadi penyebab PLN mengalami kerugian karena risiko utang naik akibat fluktuasi kurs rupiah terhadap dolar,” katanya.

Lebih lanjut, dirinya mengatakan melonjaknya porsi utang BUMN dikhawatirkan akan berdampak pada rating yang selama ini dimiliki oleh Indonesia. Menurutnya, jika pengelolaan BUMN dan utangnya belum efisien, maka lembaga pemberi rating akan merevisi dalam waktu dekat.

“Artinya jumlah utang sektor publik secara total semakin berisiko dan kurang sustainable,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya