SOLOPOS.COM - Ichwan Prasetya (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO — Saat saya mengajar di kelas-kelas yang saya ampu, saya selalu menekankan bahwa seni film, seni audio-visual-story telling, memiliki standar tersendiri dalam ekshibisi. Itulah yang biasa kita sebut bioskop atau sinema.

Hal ini masih menjadi satu kekuatan film. Ruang remang-remang, layar lebar, proyektor, dan tata suara sangat penting bagi suatu film dalam menyampaikan pesan-pesan dan kesenian. Mungkin para mahasiswa dan murid saya sampai bosan saking seringnya kata-kata ini terepetisi di kelas.

Promosi Presiden Apresiasi BRI Dorong Pertumbuhan Ekonomi Melalui Inklusi Keuangan

Ternyata kini saya terpaksa harus sedikit merevisi pandangan ini akibat pandemi yang mungkin menyurutkan niat untuk menonton film di gedung bioskop karena tak ingin bertemu kerumunan yang berisiko menularkan Covid-19.

Sebelum pandemi ini terjadi, saya memikirkan tentang film zaman kesenian 4.0. Saya pernah menuliskannya di rubrik ini setahun yang lalu. Saat itu saya menulis bahwa dunia berubah cepat dengan adanya revolusi industri 4.0, termasuk dunia kesenian dan film.

Tampaknya pandemi Covid-19 mempercepat proses itu, seolah-olah memaksa kita mempercepat perubahan aspek budaya, segi teknis, serta aktivitas ekonomi. Perlu kita ingat, selain kerja budaya, film juga mengandung banyak aktivitas ekonomi.

Apabila memaknai pemikiran Martin Suryajaya dalam Membayangkan Ekonomi Dunia Setelah Korona, ada empat kecenderungan ekonomi yang bisa dibaca gejalanya hari ini, yaitu de-industrialisasi, definansialisasi, diskoneksi fisik, dan pelokalan global.

Ketika industri film merujuk pada empat hal tersebut, mungkin kita akan melihat kecenderungan ini; seperti halnya industri yang lain, film membutuhkan kerja-kerja seni intelektual yang diejawantahkan dengan kerja-kerja fisik di lapangan.

Naskah harus melalui kerja shooting, acting, setting, dan lainnya untuk menjadi sebuah film yang utuh. Industri film sulit terwujud dengan produser, sutradara, aktor, dan teknisi kabel yang bekerja di rumah masing-masing. Tentu, perubahan ini harus direspons secara cepat.

Perubahan Radikal

Dalam konteks finansial fim, dalam situasi normal saja investor film terbatas pada lingkaran orang-orang tertentu, apalagi dalam situasi pandemi seperti ini. Sulit rasanya membayangkan ada penambahan perputaran uang di perfilman bila tidak ada perubahan radikal di sektor ini.

Pendanaan kecil, gotong royong, atau bahkan arisan mungkin bisa menjadi infus pada tubuh perfilman yang sedang sakit ini. Dalam bayangan saya, film akan beralih menjadi tontonan jarak jauh melalui sarana Internet, Youtube, Netflix, Vimeo, dan sebagainya.

Model bisnis dari setiap industri hiburan ini pun dipaksa berubah: produksi rumahan, skala diperkecil, distribusi on demand. Oleh karena itu, saya teringat pada industri film rumahan Wakaliwood di Uganda, yang kemudian membesar dan mendapatkan perhatian dunia setelah film dokumenter tentangnya dirilis beberapa tahun yang lalu.

Wakaliwood memulai pendanaan saweran melalui website kickstarter, mendistribusikan film-film laga produksi mereka melalui Internet pula. Belajar dari mereka, mungkin ada beberapa pelajaran berharga yang bisa kita ambil dalam menghadapi ketidakpastian industri film akibat pandemi ini.

Sebagai informasi, pada masa awal pandemi Covid-19, teman-teman saya para pembuat film dengan sukarela melepas karya-karya mereka ke Internet untuk dinikmati secara gratis. Hal yang sama dilakukan oleh festival-festival film besar di dunia.

Saya mencatat Festival Film Rotterdam termasuk yang paling awal membuka film-film berharga dalam database untuk dinikmati secara daring. Beberapa film pemenang Oscar 2020 dilepas produsernya ke kanal Youtube.

Ternyata tak berhenti sampai di situ, revolusi pun terjadi pada penyelenggaraan festival. Tak hanya pemutaran dan penghargaan film, pertemuan antarpegiat film yang merupakan salah satu pokok penyelenggaraan festival dikmas secara daring oleh penyelenggaranya, termasuk kelas-kelas film dan pitching forum.

Saat tulisan ini dibuat, ada acara besar We Are One Global Film Festival, festival film yang diselenggarakan secara daring. Festival film ini menggandeng 21 festival film bergengsi di dunia. Mereka akan melepas hasil kuratorial mereka ke kanal Youtube selama 10 hari, serta menyelenggarakan kelas daring bersama para maestro perfilman.

Internet membuka akses yang selama ini tak pernah saya bayangkan, menonton film-film yang mungkin tak bisa masuk atau tak beredar di bioskop-bioskop dalam negeri, dan mengikuti kelas diskusi film bersama Jackie Chan.

Revolusi Penciptaan

“Semua orang sekarang tak pergi ke sinema, mereka lebih suka menonton film di Netflix!” kata Ricky Gervais di pembukaan Golden Globe 2020. Kelakar serius Ricky itu disambut dengan tawa kecil yang tampaknya kecut oleh Al Pacino, Robert de Niro, Tom Hanks, dan banyak para legenda hidup film yang hadir malam itu.

Perusahaan tontonan daring, Netflix , mengklaim bertambahnya 15 juta pelanggan. Hal ini menunjukkan tingginya permintaan tontonan daring dalam platform tersebut selama pandemi berlangsung. Memaknai hal tersebut, sebagai pembuat film, tentu saat ini bukan saat yang tepat untuk mundur.

Permintaan rekreasi dan penghiburan lewat media audio-visual-storytelling sedang meningkat. Cara-cara memproduksi film harus segera diperbarui dengan cepat. Bagi pembuat film rumahan seperti saya, saat ini proses perencanaan penciptaan karya sebaiknya tak lagi berorientasi pada layar lebar, namun mulai masuk pada film yang ramah penonton daring.

Tentu hal ini berdampak panjang bagi pembuat film, mulai dari praproduksi hingga distribusi. Mau tidak mau harus mempelajari beberapa ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia maya untuk memberi napas panjang pada karya film kita.

Di tengah ketidakjelasan akhir dari pandemi ini, baik bila kita bisa berpikir sebaliknya, yaitu menggenjot sektor produksi film-film berkualitas tinggi, namun dengan skala kecil; skala rumahan atau usaha mikro, kecil, dan menengah. Jadi, dengan pelokalan global yang terlihat sekarang, mungkin kini adalah saat yang tepat untuk merenungkan revolusi mindset, merevolusi karya dan merevolusi cara.



Saya bersama teman-teman di Asosiasi Dokumenteris Nusantara sedang dalam proyek merekam pandemi. Sebuah proyek “baru” dalam metode, bentuk, cara kerja, target, serta distribusinya nanti. Dengan segala keterbatasan akses dan memerhatikan protokol kesehatan yang ketat, kami bercita-cita film hasil gotong royong ini menjadi penanda sejarah revolusi sinema di negeri ini. Semoga.

 

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya