SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

    Siapa tak kenal Malioboro. Sebuah ikon tempat wisata di Jogja yang sudah kondang di seantero Indonesia, bahkan mungkin dunia. Hampir semua wisatawan yang pernah berkunjung ke Jogja, bisa dipastikan pernah mampir ke jalan ini. Jalan sepanjang kurang lebih dua km ini memang menjadi ikon wisata, ekonomi rakyat, sosial, dan budaya. Hampir semua aspek kehidupan bersatu padu di sana. Berita terakhir mengabarkan bahwa kawasan Malioboro akan direvitalisasi total menjadi sebuah kawasan yang siap menampung beban yang lebih besar lagi.
   
Proyek revitalisasi Malioboro ini memang aktivitas berskala mega. Konon kabarnya, proyek revitalisasi kawasan terpadu Malioboro ini akan menghabiskan dana total minimal Rp2,1 triliun. Proyek sebesar ini, jelas tidak akan mampu dikerjakan oleh Pemprov atau Pemkot semata, termasuk investor lokal sekalipun. Namun, revitalsiasi yang menelan biaya triunan rupiah ini, jelas harus melibatkan investor dari luar DIY, bahkan mungkin konsorsium dari banyak investor. Bahkan mungkin, kegiatan ini harus melibatkan dana APBN dari pemerintah pusat, sehingga beban keuangan daerah tidak terlalu berat.
   
Maklum, Malioboro sebenarnya sudah menjadi milik (ikon) nasional, tidak hanya milik masyarakat lokal setempat. Oleh sebab itu, Malioboro dengan segala kompleksitas masalahnya, harus dipikirkan secara nasional pula. Setiap akhir pekan dan musim liburan, kawasan ini sudah terlampaui ambang batas kapasitasnya. Seringkali terjadi kemacetan yang luar biasa. Tak hanya itu, lahan parkir yang terbatas dan sempit menjadikan masyarakat seringkali kurang nyaman berlama-lama mengunjungi kawasan ini.
   
Revitalisasi secara radikal terhadap Malioboro memang layak dilakukan. Kawasan ini sudah selayaknya dikembangkan lebih jauh lagi, sehingga mampu memperbesar kapasitas tampungnya untuk siap mengakomodasi puluhan ribu pengunjung Malioboro di masa mendatang. Terlebih, kawasan Malioboro juga sudah terlanjur menjadi pusat ekonomi, bisnis dan perdagangan kawasan Jogja. Malioboro adalah degup jantung kegiatan perekonomian DIY. Bisa dibayangkan, di kawasan ini bercokol tidak kurang 8.000 pedagang skala UKM, di mana 6.000 pedagang di antaranya berlokasi di pasar Beringharjo (termasuk kawasan Metro Beringharjo). Perputaran  uang (omzet usaha) selama satu harinya bisa mencapai sekitar Rp50 miliar.
   
Oleh sebab itu, pengembangan kawasan ini harus terpadu dan sejalan dengan rencana pengembangan Stasiun Tugu sebagai kawasan Cagar Budaya, termasuk Jalan Mangkubumi mulai dari Tugu untuk menyangga kawasan Malioboro. Pengembangan kawasan pedestrian terpadu hendaknya juga melibatkan kearifan lokal, di mana berbagai bentuk budaya dan local genius yang sudah menjadi trade mark Malioboro, tidak tercerabut dan tergantikan oleh budaya baru. Untuk itu, para stakeholder Malioboro, termasuk para pedagang UKM dan pemain bisnis di kawasan ini semestinya dilibatkan secara penuh dalam membicarakan masterplan dan roadmap pengembangan Malioboro ke depan.

Sistem perwakilan para stakeholder, perlu dilakukan untuk menampung aspirasi para stakeholder mayoritas, yang mungkin lebih memahami gejolak dan riak-riak di lapangan. Dengan demikian, pengembangan kawasan pedestrian Malioboro akan lebih membumi dan mengakar, karena melibatkan grass root (akar rumput) yang selama ini secara diam-diam sudah ikut berkontribusi mengembangkan kawasan Malioboro, seperti pedagang angkringan, pedagang kuliner lesehan, serta pelaku ekonomi gurem lainnya. Sebab inilah keunikan Maliboro dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
   
Pengembangan kawasan Malioboro juga harus diletakkan dalam kerangka wisata, di mana di kawasan yang berdekatan, ada kawasan wisata lain yang tak kalah menariknya, yakni kawasan yang dikenal dengan titik nol kilometer. Di kawasan ini juga bercokol bangunan cagar budaya seperti Benteng Vredeburg, Istana Gedung Agung, Keraton, serta bangunan heritage lain seperti kantor Pos Besar, Gedung BI, Gedung BNI serta bangunan cagar budaya di sekitarnya. Kawasan yang dikenal dengan kawasan Indies ini juga harus bisa ikut dikembangkan selaras dengan revitalisasi kawasan terpadu Malioboro. Nah, kalau pengembangan kawasan terpadu Malioboro sudah integrative dan holistic, maka kita semua bisa membayangkan wajah Malioboro yang semakin ramah dan cantik terhadap para pendatang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Oleh sebab itu, semua pengembangan kawasan yang berdekatan dengan Malioboro harus diletakkan dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan pedestrian Malioboro. Termasuk nota kesepahaman (MoU) yang sudah dilakukan oleh PT KAI, Pemprov, Pemkot dan pihak Keraton untuk melakukan revitalisasi Stasiun Tugu sebagai kawasan Cagar budaya. Pengembangannya jelas harus dikaitkan dengan pengembangan kawasan Malioboro sebagai destinasi unggulan wisata di kawasan DIY. Jadi, pusat segalanya adalah kawasan Malioboro. Dengan demikian, Maliboro kelak akan menjadi ikon nasional, layaknya Lucky Street di Singapura, karena Malioboro memang sudah layak menyandang ikon Indonesia, tidak hanya ikon Ngayogyakarta Hadiningrat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya