SOLOPOS.COM - Empat dari lima pimpinan KPK terpilih (depan, kiri ke kanan) Irjen Pol. Basaria Panjaitan, Alexander Marwata, Saut Situmorang, dan Laode Muhammad Syarif mengikuti Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (18/12/2015). Paripurna tersebut mengesahkan lima pimpinan KPK terpilih seusai menjalani uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi III DPR. (JIBI/Solopos/Antara/Hafidz Mubarak)

Revisi UU KPK ditolak KPK. Baleg DPR pun kecewa dengan ketidakhadiran mereka.

Solopos.com, JAKARTA — Badan Legislatif (Baleg) DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat dengan KPK untuk membahas usulan revisi undang—undang KPK yang diajukan oleh DPR pada Kamis (4/2/2016). Namun, rapat tersebut batal lantaran tidak hadirnya komisioner KPK.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Ketidak hadiran komisioner KPK tersebut pun menuai pertanyaan dari para anggota DPR yang menghadiri rapat tersebut. Usulan untuk membatalkan rapat tersebut muncul dari Firman Soebagyo selaku salah satu pimpinan sidang lantaran kecewa komisioner KPK tidak menghormati undangan DPR tersebut.

Sikap komisioner lembaga antirasuah tersebut yang memilih untuk tidak hadir dalam undangan DPR merupakan perwujudan penolakan adanya revisi UU KPK. Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati, mengonfirmasi.

“Ya [menolak revisi dengan tidak menghadiri RDP] dan penolakan ini juga sudah disampaikan oleh komisioner dalam konferensi pers di KPK. Selain itu, para komisioner KPK juga hari ini ada agenda lain.”

RDP yang digelar di Baleg hanya dihadiri oleh Deputi Informasi dan Data Hary Budiarto, Kepala Biro Hukum Setiadi, tim biro hukum yaitu Nur Chusniah dan Anatomi, serta pelaksana harian Kabiro Humas Yuyuk Andriati. Yuyuk selaku perwakilan dari KPK mengatakan bahwa sebelumnya pimpinan KPK telah mengirimkan surat berisi penolakan atas usulan revisi UU KPK.

Sikap komisioner KPK yang memilih untuk tidak menghadiri undangan DPR itu mendapat tanggapan oleh Anggota baleg dari fraksi PPP, Arsul Sani.

“Saya menyayangkan, komisioner tidak hadir. Di baleg ini lah, harusnya pimpinan KPK menyatakan sikap. Mau menerima, tapi dengan syarat, menolak, dan lain-lain. Sama dengan sikap yang disampaikan di komisi III Kalau bukan pimpinan KPK, apakah mewakili sikap KPK atau enggak, apakah teman—teman di bawah pimpinan KPK mampu menjawabnya. Apapun sikapnya harus diapresiasi.”

Menurut Arsul, Baleg menggelar RDP dengan lembaga anti rasuah tersebut guna mendengarkan pendapat dari lembaga yang terkait, KPK.
Menurut Arsul, proses pengusulan revisi undang—undang KPK ini masih dalam tahap calon draf. “Status yang sekarang baru calon draf, itu belum bisa disebut draft revisi atas UU KPK dari DPR. Itu baru draft pengusul,” ujarnya.

Dia menambahkan, “Proses usulan revisi, masih tahap awal. Di baleg mendengarkan keterangan pengusul. Sebagai sebuah proses legislasi, apakah kemudian revisi terus atau enggak, masih panjang (prosesnya). Baleg membuat proses istimewa. Mendengarkan dulu lembaga yang terdampak revisi undang–undang ini, KPK. Dengan proses ini, DPR sangat berhati-hati walaupun masih di tahap awal.”

Selama ini, ujar Arsul, KPK mengatakan mereka membutuhkan penguatan kelembagaan. Tambahnya, KPK meminta penguatan dalam bentuk kedeputian baru, yaitu deputi supervisi, monitoring, dan koordinasi.

Arsul berpendapat, jika KPK mengharapkan penguatan dalam bentuk membuat kedeputian baru, maka undang—undang KPK pun juga sebaiknya direvisi. “Jadi memang harus diubah ketentuannya terkait struktur kelembagaan KPK, sekarang baru ada 4 bidang, kalau ditambahkan berarti harus mengubah undang—undang,” tandasnya.

Politisi PPP itu mengatakan, revisi yang diusulkan oleh DPR itu hanya terbatas pada empat poin yakni Dewan Pengawas, SP3, Penyadapan dan Penyidik Independen. “Kalau ada materi (revisi) tambahan itu harus datang dari pemerintah atau KPK,” tuturnya. Arsul memaparkan, SP3 harus dibatasi. Ini dikhawatirkan jika tersangka meninggal atau secara medis dalam keadaan cacat permanen.

“Alternatif SP3 harus dibuka juga, mungkin tidak diberi kewenangan SP3 tapi ada mekanisme di mana perkara bisa berhenti kalau ada penetapan di pengadilan, permohonan kepada pengadilan atas dasar alasan limitatif juga. Toh yang namanya penghentian penyidikan itu tidak secara final berhenti. Sama dengan SP3, kalau ada bukti baru, bisa dibuka lagi,” paparnya.

Terkait pembentukan Dewan Pengawas, anggota komisi III itu berpendapat bahwa sebaiknya Dewan Pengawas dipilih oleh Presiden melalui seleksi terbuka.

“Kalau yang milih DPR nanti diteriakin, jadi tuduhan baru kalau DPR ingin membunuh KPK. Jangan, tetap di Presiden. Tapi supaya tidak disalahgunakan oleh Presiden, harus terbuka, di samping syarat-syarat yang ketat. Seperti pemilihan hakim MK,” terangnya.

Poin tentang penyadapan, Arsul menegaskan, penyadapan memang harus diatur tapi juga jangan izin pengadilan. Tambahnya, penyadapan itu fungsi Dewan Pengawas yang harus dibberikan dalam waktu 1×24 jam sejak diminta. Meski demikian, menurut Arsul, jika KPK dalam kondisi mendesak maka tidak perlu melakukan ijin dalam melakukan penyadapan.

Dari poin—poin tersebut, Arsul menganggap bahwa DPR tidak menghambat kinerja KPK. “Dimana menghambatnya? Kan KPK masih bisa mengatakan ini urgent,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya