SOLOPOS.COM - Aksi unjuk rasa pegawai KPK di Jakarta, Selasa (3/3/2015). (Rahmatullah/JIBI/Bisnis)

Revisi UU KPK kembali dimunculkan, kali ini oleh fraksi-fraksi di DPR.

Solopos.com, JAKARTA — DPR dianggap terus ingin melemahkan posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi setelah kembali mengusulkan draf RUU KPK yang pembahasannya pernah ditolak langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Promosi Kuliner Legend Sate Klathak Pak Pong Yogyakarta Kian Moncer Berkat KUR BRI

Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Esther mengatakan DPR ternyata tidak pernah berhenti melakukan upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Setelah pembahasannya ditolak oleh Presiden Jokowi pada Juni 2015, ternyata DPR mengubah inisiatif usul dari pemerintah menjadi DPR. Kali ini, revisi UU KPK diusulkan oleh Fraksi Partai Nasdem, PKB, PPP, Partai Golkar, Partai Hanura, dan PDIP.

“Draf revisi UU tersebut, menguatkan sinyal bahwa mereka [DPR] berharap agar KPK tidak ada lagi,” katanya saat dihubungi, Selasa (6/10/2015).

Pasalnya dalam revisi UU KPK, DPR akan memasukkan beberapa klausul yang dianggap membatasi ruang gerak KPK. Selain penyadapan yang harus melaui izin pengadilan, KPK hanya diberikan ruang untuk menangani kasus korupsi dengan nominal diatas Rp50 miliar, padalah sebelumnya Rp1 miliar.

Tidak hanya itu, usia KPK juga dibatasi hanya 12 tahun sejak RUU tersebut resmi disahkan menjadi UU. DPR berdalih, pembatasan usia itu dimaksudkan sebagai penegas bahwa lembaga itu dibentuk sementara atau bersifat ad hoc.

Selain itu, pengalihan wewenang penuntutan dari sebelumnya bisa dilakukan sendiri oleh KPK ke Kejaksaan, juga berisiko melemahkan KPK. “Jika RUU itu benar-benar disahkan menjadi UU, kami yakin KPK tidak akan bisa bekerja lagi,” katanya.

Peneliti senior dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, berpendapat bahwa izin penyadapan itu berisiko mematahkan kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan. “Karena tidak ada jaminan bahwa pengadilan akan mengedepankan independensi dan kredibilitasnya dalam mengungkap kasus korupsi,” katanya saat dihubungi.

Bivitri juga tidak yakin ada lembaga penegak hukum lain yang mampu mengungkap kasus korupsi dibawah Rp50 miliar. “Jika ada batasan penanganan kasus korupsi dengan nilai minimal Rp50 miliar oleh KPK, lantas siapa yang menangani kasus dibawah nominal itu? Kejaksaan dan Kepolisian kan juga dikenal korup.”

Dengan demikian, Bivitri meminta DPR untuk merevisi draf RUU tersebut. “Kalau tidak diubah, kami akan minta pemerintah untuk menolak ikut membahas revisi UU tersebut. Dalam hal ini pemerintah harus tegas bersikap dengan tidak ikut membahas revisi UU KPK.”

Menanggapi tudingan itu, DPR mengelak jika dituding akan melemahkan KPK. “Dari draf tersebut, tidak ada keinginan untuk melemahkan KPK. Revisi ini hanya upaya untuk membangun sistem pemberantasan korupsi yang ideal,” kata Henry Yosodiningrat, anggota badan legislasi DPR dari Fraksi PDIP.

Menurutnya, pemberantasan korupsi tidak bisa dijalankan secara parsial. Dengan demikian, harus menjadi keinginan semua elemen penegak hukum, termasuk Kepolisian dan Kejaksaan. “Kami akan ubah UU KPK agar tidak bersinggungan dengan UU lainnya.”

Seleksi Pimpinan KPK

Dalam perkembangan lain, DPR akan bersurat ke Presiden Jokowi agar segera memberikan penjelasan soal tidak adanya calon pimpinan KPK berlatar belakang jaksa. “Kami akan kirim surat pada Kamis, 8 Oktober 2015. Kami minta Presiden Jokowi segera menjelaskan hal itu,” kata Fahri Hamzah, Wakil ketua DPR di Kompleks Gedung Parlemen.

Menurut Fahri, pengiriman surat itu didasari oleh klausul dalam pasal 21 ayat 4 UU No. 30/2002 tentang Komisi Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi yang mengharuskan adanya jaksa dalam struktur pimpinan KPK yang akan berperan sebagai penuntut umum.

Menanggapi hal itu, Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK, Destry Damayanti, siap menjelaskan kepada DPR soal tidak adanya jaksa dalam deret nama calon pimpinan lembaga antirasuah yang sudah diserahkan oleh Presiden Jokowi. “Tapi harus seizin Presiden dulu.”

Soal tidak adanya capim berprofesi jaksa, Destry berpendapat bahwa capim KPK tidak harus mempunyai latar belakang jaksa atau polisi. Terlepas dari itu, calon-calon yang berlatar belakang jaksa juga belum memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh pansel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya