SOLOPOS.COM - Tundjung W. Sutirto (Istimewa/Dokumen pribadi)

Solopos.com, SOLO -- Dekade ini adalah waktu yang tepat untuk memulai proyek besar restorasi ekosistem di seluruh dunia. Dampak perubahan iklim yang melanda dunia saat ini telah menghilangkan banyak ekosistem alam.

Hilang dan rusaknya ekosistem berisiko besar bagi kesehatan manusia, keamanan pangan global, dan pembangunan ekonomi secara luas. Restorasi ekosistem sangat penting dan mendesak untuk dilakukan guna menghindari bahaya perubahan iklim.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Kita semua harus memahami pengertian dan pendekatan restorasi ekosistem agar dapat berpartisipasi penuh terhadap penyelamatan masa depan planet tempat hidup manusia ini. Dalam beberapa referensi, definisi restorasi ekosistem adalah upaya memulihkan ekosistem yang telah rusak dan melestarikan ekosistem yang masih utuh.

Ekosistem yang lebih sehat, dengan keanekaragaman hayati yang lebih kaya, akan menghasilkan manfaat yang lebih besar seperti tanah yang lebih subur, hasil kayu dan ikan yang lebih banyak, dan simpanan gas rumah kaca yang lebih besar.

Hutan

Hutan merupakan ekosistem yang mengalami kerusakan paling parah. Ambil contoh kerusakan hutan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Beberapa sumber data menunjukkan hutan di Pulau Jawa semakin mengecil karena beberapa sebab dan saat ini luasnya hanya sekitar 24% dari luas Pulau Jawa.

Pada tahun 2000 luas tutupan hutan di Pulau Jawa sekitar 2,2 juta hektare. Berdasar catatan Forest Watch Indonesia tahun 2009, luas tutupan hutan di Jawa hanya menyisakan 800.000  hektare.

Jadi, dalam rentang waktu sembilan tahun tutupan hutan di Jawa telah berkurang sekitar 60%. Ini sebuah tragedi ekosistem yang berdampak besar pada lingkungan. Dapat dibayangkan dengan rusaknya hutan yang teramat parah tersebut bukan saja mengakibatkan kehidupan manusia, tetapi juga kehidupan satwa.

Saat ini kita menghadapi kelangkaan spesies macan tutul, owa jawa, lutung surili, dan biul slentek yaitu hewan menyerupai berang-berang yang di Jawa Tengah disebut juga dengan nyentek. Beberapa sumber menjelaskan owa jawa adalah sejenis primata yang populasinya kian terancam punah.

Dinyatakan juga bahwa owa jawa atau Hylobates moloch kini menjadi hewan langka karena hanya tersisa kurang dari 2.000 ekor dan merupakan spesies owa paling langka di dunia. Ekosistem hutan kian rusak terprenetrasi oleh laju pengembangan sejumlah mega proyek.

Pengembangan Koridor Ekonomi Jawa dalam Kerangka Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 dengan aksi mercusuar pembangunan infrastruktur nyata-nyata telah memorak-porandakan ekosistem hutan di Jawa.

Restorasi ekosistem hutan di Jawa mendesak untuk dilakukan secara masif. Hutan sangat dibutuhkan bagi kehidupan manusia dan seluruh makhluk hidup, sebagai penyangga ekosistem, penyedia air, pengaturan iklim, serta pelindung terhadap bencana alam.

Berbagai aksi untuk mengembalikan ekosistem hutan di Jawa yang rusak bisa dengan melakukan konservasi ex-situ. Setiap kota di Jawa dapat mengupayakan dan menambah jumlah lahan urban forestry (hutan kota). Memanfaatkan lahan-lahan kosong di perkotaan sebagai hutan kota merupakan aksi terpuji dalam rangka penyelamatan bumi.

Dari Rumah

Menurut badan dunia The United Nations Environment Programme (UNEP), semua jenis ekosistem dapat dipulihkan, termasuk hutan, lahan pertanian, kota, lahan basah, dan lautan. Prakarsa restorasi dapat diluncurkan oleh hampir semua orang, mulai dari pemerintah dan lembaga pembangunan hingga bisnis, komunitas, dan individu.

Penyebab degradasi ekosistem banyak dan beragam serta dapat berdampak pada skala yang berbeda-beda. Termasuk yang paling mendesak saat ini dan sangat memerlukan aksi restorasi adalah pada ekosistem perkotaan. Perkembangan masyarakat industri pada akhir tahun 1800-an memulai kecenderungan terjadinya urbanisasi secara global.

Pada tahun 1950 populasi masyarakat kota meningkat menjadi 28%. Pada tahun 1985 mencapai 42%. Pada tahun 2009 dunia berubah secara fundamental, untuk kali pertama dalam sejarah manusia, lebih dari separuh orang tinggal di kota. Sebuah era yang disebut sebagai urban millennium.

Mrill Ingram dalam editorial di Jurnal Ecological Restoration (2008) mengungkapkan restorasi ekosistem perkotaan bukanlah hal baru. Sebenarnya banyak restorasi berasal dari, atau dekat, daerah perkotaan. Kesadaran yang sama yang mengarah ke taman, taman umum, dan ruang terbuka daerah di dalam kota mendorong upaya untuk memulihkan habitat di tempat-tempat perkotaan.

Tekanan komersial dapat membuat kota kecil dan kota besar memiliki terlalu banyak jalan beraspal dan terlalu sedikit ruang hijau. Masyarakat yang tinggal di perkotaan dapat melakukan aksi restorasi dari rumah masing-masing maupun lingkungan komunitas.

Misalnya, aksi pembuatan kompos di lingkungan rumah atau komunitas yang belum banyak dilakukan. Kemudian merebut ruang-ruang kosong di kota untuk tindakan gerilya berkebun akan jadi aksi nyata dalam restorasi ekosistem kota. Aksi restorasi ekosistem bisa pula mulai dilakukan di rumah.

Banyak dari aksi ini memiliki manfaat tambahan yang besar. Aksi ini bisa dilakukan seluruh anggota keluarga bersama anak-anak dan akan mengilhami mereka untuk mengapresiasi dunia dan alam di sekitar mereka. Perubahan besar dapat datang dari kegiatan kolektif dari beberapa individu yang berkomitmen.

Tidak peduli di mana kita berada di dunia atau seberapa besar rumah atau taman yang kita miliki, kita semua dapat mengambil tindakan untuk terhubung dengan alam, mendorong kelestarian keanekaragaman hayati di daerah kita, dan menginspirasi orang-orang di sekitar kita untuk melakukan hal yang sama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya