SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Menyaksikan penuh sesaknya pengunjung kafe langganannya membuat Suto berpikir keras. “Lah, katanya ekonomi lagi krisis, kok nyari satu jengkal space di kafe sulit bener. Siapa sih sebenarnya yang terkena krisis ini,” Suto menggerutu dalam hati.

Setelah menunggu lebih dari 10 menit, barulah dia dipersilakan oleh Diana, pramusaji yang sudah sangat dikenalnya itu, untuk menempati satu petak dari ruangan kafe yang hanya seluas setengah lapangan tenis tersebut.

Promosi Uniknya Piala Asia 1964: Israel Juara lalu Didepak Keluar dari AFC

“Tambah satu lagi, Mbak, kursinya. Selain Noyo, Subarry juga mau gabung entar,” kata Suto sambil mengempaskan diri di sofa empuk kafe itu.

“Beres, Bapak. Mau minum apa sore ini? Seperti biasa? Capuccino Legitto?” balas Diana. Bibirnya mengembang.

“Hooh deh,” ujar Suto sambil kembali mengaktifkan jari-jemarinya serta perhatiannya ke papan kunci BlackBerry yang dalam mode selancar jejaring dunia maya.

Tak berselang lama, Noyo dan Subarry muncul. Mereka langsung nyamperin Suto dengan terlebih dulu berbasa-basi layaknya sahabat yang lama tak bersua. Sesaat kemudian, mereka bertiga sudah terlibat dalam obrolan serius.

“Gila, Kang Suto… cari parkir di mal ini susah banget. Saya gak habis pikir, kok orang-orang ini masih aja belanja dan banyak duit ya… katanya krisis… apa mereka ini habis dapat fulful ya…,” kata Noyo sambil tetap nyerocos.

“Apaan tuh fulful?” sergah Subarry.
“Fulus fulitik… sisa uang politik pascakampanye menjelang pemilu kemarin. Konon, uang politik yang beredar nyampe belasan triliun perak lho…” Noyo menjelaskan.

“Sama Yo, aku tadinya juga mikir demikian. Kayaknya, yang terkena krisis itu mungkin para pelaku di bursa saham ‘kali… atau yang gak kecipratan dana politik… Lha wong jalanan ya masih tetep macet kok, di mana-mana masih rame, gak peduli warteg, restoran, kafe, hingga pusat perbelanjaan termasuk mal mewah tetap dipadati pengunjung,” kata Suto.

“Ini memang fenomena unik Indonesia, Mas Suto. Saya kemarin baru dari Singapura. Weleh… suasana di sana kelihatan muram gitu, tidak sesemarak Jakarta. Temen-temen yang baru dari Hong Kong dan Tokyo juga cerita senada, mereka pada lesu, gak seperti kita,” ujar Subarry menimpali.

“Tapi kita belum tahu cerita tahun ini secara keseluruhan lho Bar… Jangan-jangan, greget ini hanya terjadi di kota besar seperti Jakarta… Yang gue denger sih, banyak pengusaha di daerah semaput karena harga komoditas sedang jeblok…” Noyo menambahkan. “Ditambah lagi banyaknya kasus orang kehilangan kewarasan…”

“Emang kenapa Mas Noyo,” kata Subarry bernada keheranan.
“Lah, ke mana aja loe… Terlalu lama di luar negeri ya… kan sekarang ini banyak caleg [calon anggota legislatif] yang mulai gendheng ketika menghadapi kenyataan bahwa hasil perolehan suara pada pemilu legislatif kemarin itu gak seperti yang diharapkannya… Padahal, mereka sudah habis-habisan keluar uang untuk jadi wakil rakyat… Bahkan, beberapa di antaranya sampai menemui ajal,” tutur Noyo.

“Makanya, kalau status caleg dijadikan tujuan, ya hasilnya pasti kesia-siaan seperti itu… Yang berhasil maupun gagal jadi anggota legislatif sama-sama bisa gilanya… Lha kita ini memang hidup di negeri edan kok,” kata Suto.

“Maksudnya gimana, Mas,” ujar Subarry kebingungan.
“Lihat aja… yang gagal jadi edan beneran, sehingga harus dirawat di rumah sakit jiwa, sedangkan yang berhasil akan berupaya seedan mungkin untuk mengembalikan ‘investasi’ mereka, termasuk dengan menghalalkan segala cara…” Suto menuturkan.

“Malahan, bagi sebagian besar caleg itu, jadi anggota legislatif, apakah di pusat, di tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota dianggapnya nemu kapal keruk… maksudnya, bisa untuk mengeruk kekayaan yang berasal dari keringat rakyat,” sambung Noyo.

“O, begitu… Padahal, menjadi anggota legislatif kan seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, ya Mas… Artinya, dia harus mengemban amanah dan bila perlu berani mati untuk memperjuangkan kepentingan rakyat tersebut… dia harus berani mengorbankan kepentingan pribadi…” ujar Subarry berargumentasi.

“Itulah Bar, anggota legislatif zaman sekarang ya… lebih mementingkan perut sendiri. Mana ada sih yang bener-bener memperjuangkan kepentingan kita-kita ini… cepede… maksudnya capek deh…,” kata Noyo.
“Terus, apa yang perlu kita lakukan untuk menyadarkan para wakil rakyat baru yang kepilih nanti, Mas,” kata Subarry.

“Wakil yang mana… gue aja kemarin gak masuk DPT, jadinya ya gak milih wakil. Di lingkungan tempat tinggal gue, cuma beberapa gelintir tuh yang bisa nyontreng,” ucap Suto.

“Lho, sama dong… Saya sekeluarga juga gak bisa nyontreng. Tetangga banyak juga yang kehilangan hak bersuara karena DPT sialan itu,” ujar Noyo. “Jangan-jangan… ini direkayasa ya Kang… Buanyak lho yang ngaku kehilangan hak suara…”

“Kalo memang benar direkayasa, sungguh keterlaluan deh… pengen memenangi suara rakyat kok pake ngakali… Gak heran, kalo sang wakil yang kemudian terpilih juga suka ngakali rakyat…” kata Subarry sambil merenung.

“Lho, kalian baru tahu toh kalau kita ini memang hidup di republik akal-akalan… Udah dari dulu tuh. Kalau nggak akal-akalan, negeri kita ini sudah maju dari dulu…” tutur Suto.

“Pantesan… kebijakan yang dihasilkan lebih sering ngakali rakyat ya Kang… Sebaiknya kita gak usah ikut ngakali Kang, ketimbang ikutan jadi gendheng dan nanti apa bedanya dengan para caleg gagal itu…,” kata Noyo sambil tertawa. Kedua sobatnya pun turut ngakak… 

 

Oleh Ahmad Djauhar
Presdir PT Aksara Dinamika Jogja, penerbit Harian Jogja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya