SOLOPOS.COM - Algooth Putranto/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Suatu sore akhir pekan pada November 2017 yang cerah. Seorang kawan yang menuntut ilmu di Australia mengajak saya bertemu di suatu pusat perbelanjaan di Jakarta.

Tak sampai setengah jam menanti bersama seorang kawan, senior saya,  kawan yang mengundang saya itu datang bersama lelaki tegap gagah bermata tajam dengan kulit cerah.

Promosi Tragedi Simon dan Asa Shin Tae-yong di Piala Asia 2023

Dia membawa koper paling besar. Hampir waktu Asar, kami bergegas ke musala di lantai atas. Seperti biasa saya menjalankan fungsi YMT, yang menjaga tas. Tak berapa lama kemudian lelaki tegap itu yang pertama keluar dari musala.

Perbincangan singkat terjadi antara saya dan lelaki itu. Kami berkenalan, menyebut nama, tempat asal,  dan hal yang membuat ekspresinya sedikit berubah karena saya tidak menjalankan ibadah salat sore itu. Saya memang bukan muslim.

Obrolan kami di depan musala itu terpotong sesi mengisi perut. Kamis mengisi perut sambil meneruskan obrolan. Saat meriung sambil makan itu lelaki tegap asal Jawa Barat tersebut terlihat biasa-biasa saja. Normal saja. Waktu berlalu dan kami pun berpisah.

"Dia itu ISIS, baru kujemput dari sana," bisik kawan yang mengajak kami meriung. Si lelaki tegap itu salah seorang dari ratusan warga negara Indonesia (WNI) yang punya mimpi dan ternyata masuk dalam kenyataan yang pahit.

Bingung, putus asa, dan untungnya masih bisa pulang ke Indonesia dengan perspektif berbeda tentang bagaimana menempatkan diri sebagai bangsa Indonesia.

Dalam hal urusan terorisme, mantan teroris, atau urusan pemulihan para teroris bertobat agar bisa kembali memasyarakat saya selalu memilih untuk manut kawan sekaligus senior saya yang lulusan Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah itu.

Saya mendengar kabar pada 12 Agustus 2017 sebanyak 18 orang WNI eks simpatisan dan pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (Islamic State of Iraq and Syria atau ISIS) tiba di Indonesia setelah dijemput aparat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Kementerian Luar Negeri.

Tindakan Absurd

Mereka dijemput di Kota Erbil, Irak. Tindakan yang agak absurd karena pada Mei 2017, Kepala BNPT Suhardi Alius dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mendukung wacana stateless (tidak berwarga negara) dalam revisi UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Langkah ini dianggap efektif untuk membuat takut WNI yang bergabung dengan ISIS. Pendapat dua lembaga negara itu ditentang panitia kerja pemerintah di bawah Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Enny Nurbaningsih dan Panitia Khusus DPR tentang RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diketuai Muhammad Syafi'i.

Nah, di tengah pembahasan revisi undang-undang yang alot itu, setiba di Indonesia, 18 orang tersebut dibawa ke Pusat Deradikalisasi BNPT yang berada di kompleks Indonesia Peace and Security Center (IPSC) di Bogor untuk mendapatkan pembinaan lebih lanjut dalam rangka memulihkan kondisi mental mereka.

Setelah sebulan dibina di pusat deradikalisasi, pada 13 September 2017, BNPT dalam seremoni kecil dipimpin Kepala Subdirektorat Bina Dalam Lapas Khusus BNPT, Kolonel Marinir Andy Prasetyo, di kantor BNPT, Sentul, Bogor secara resmi melepas 15 WNI simpatisan dan pendukung ISIS asal DKI Jakarta dan Jawa Barat untuk selanjutnya kembali ke masyarakat.

Bagi BNPT pelepasan tersebut juga sebagai wujud gambaran sinergisitas antarkementerian/lembaga terkait dalam penanggulangan terorisme. Harus diingat bahwa 15 WNI eks simpatisan ISIS itu tidak lepas bebas sepenuhnya, namun juga tidak setragis orang-orang yang terlibat Gerakan 30 September pada 1965 yang pada kartu tanda penduduk diterakan tanda khusus.

Sesuai nota kesepahaman antara Kementerian Dalam Negeri dan BNPT yang diteken pada 2018, para WNI eks pendukung ISIS itu didampingi Kementerian Dalam Negeri bersama unsur paling depan, yakni lurah/kepala desa, dibantu komando rayon militer dan kepolisian sektor sesuai dengan tempat domisili para eks pendukung ISIS tersebut.

Peran Kementerian Dalam Negeri dan jajaran di daerah tidak kecil karena aparat di daerah tersebut harus membantu mengembalikan identitas WNI simpatisan dan pendukung ISIS yang sudah hilang seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Pendek kata, urusan WNI yang pernah sadar untuk tersesat ini tak serupa memasak mi instan.

Tak Muncul Begitu Saja

Sayangnya, selepas 2017 isu pemulangan WNI simpatisan ISIS, harus diakui atau tidak, tenggelam oleh isu demonstrasi menentang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, upaya BNPT meminta tambahan anggaran untuk 2020, pemilihan presiden, dan tentu saja gegap gempita setelah terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai presiden serta pengumuman kabinet yang terlalu banyak menebar drama.

Jika jeli, urusan kepulangan eks WNI tidak begitu saja muncul. Rapat lintas menteri dan otoritas keamanan telah digelar pada Mei 2019. Pada Juli 2019, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menyebut pemerintah membuat tim khusus atau task force (satuan tugas) terkait wacana pemulangan ratusan WNI eks simpatisan ISIS yang kini terjebak di Suriah.

Saat itu Wiranto menyebut prioritas pemulangan bagi sekitar 120 WNI perempuan dan anak-anak, bukan 600 WNI seperti yang kini marak dibicarakan. Data 120-an WNI terkatung-katung akibat tertipu janji surga ISIS ini hampir sama dengan yang saya dapatkan.

Saya mencatat ada 87 anak keturunan WNI simpatisan dan pendukung ISIS berusia di bawah 12 tahun. Boleh dikatakan agak aneh ketika mendadak Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Moh. Mahfud Md., sebagai orang nomor satu di lembaga yang paling bertanggung jawab atas penanganan WNI eks simpatisan dan pendukung ISIS dengan ringan menyatakan pemerintah tidak setuju dengan upaya repatriasi WNI eks ISIS.

Tambah rumit ketika sejumlah tokoh, termasuk mantan menteri pada  masa Presiden Abdurrahman Wahid yang lebih tenar karena semasa menjabat justru menjual teknologi jin, ikut menambah kebisingan. Repotnya, mayoritas yang bicara dan diberi panggung oleh media massa rupanya sekadar asal bunyi.

Asal bunyi karena tokoh yang keras bicara mayoritas tanpa data dan tak paham runtutan sejarah persoalan WNI simpatisan ISIS. Justru saya menangkap ada narasi traumatis bangsa terhadap radikalisasi di dalam negeri. Mereka lupa bangsa ini pernah begitu keji memperlakukan keluarga eks Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa pandang bulu.



Sampai saat ini debat di ruang publik terkait persoalan perlakuan negara terhadap WNI eks simpatisan dan pendukung ISIS seperti lupa bahwa dalam setiap tindakan yang dilakukan harus mengacu undang-undang yang berlaku.

Pasal Paling Krusial

UU Terorisme hasil revisi pada 2018 jelas mengandung pasal yang paling krusial perihal hak kemanusian dan kewarganegaraan. Dalam revisi UU Terorisme yang berdasarkan masukan berbagai anggota panitia khusus DPR bersama panitia kerja pemerintah itu mencatat hal penting, yakni menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan.

Hal ini sesuai Universal Declaration of Human Rights 1948 yang menyatakan adalah hak bagi setiap orang atas kewarganegaraan dan tidak seorang pun dapat dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya.

Dalam revisi UU Terorisme ini termasuk yang paling penting adalah menghapus pasal yang dikenal oleh masyarakat sebagai pasal Guantanamo. Pasal yang memungkinkan menempatkan seseorang terduga teroris atau terduga terkait jaringan terorisme di tempat atau lokasi tertentu yang tidak dapat diketahui oleh publik.

Dasar hukum inilah yang menjadi alasan bagi Kementerian Luar Negeri di bawah Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia untuk melakukan pekerjaan, yang menurut saya menyebalkan, yakni pendampingan hukum bagi WNI yang terlibat ISIS. Menyebalkan karena sepanjang 2018-2019 justru rentetan aksi teror menimpa bangsa ini.

Aksi teror itu mulai kericuhan antara narapidana terorisme dan aparat di Rumah Tahanan Cabang Salemba Kompleks Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok; ledakan bom bunuh diri di tiga gereja dan kantor Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya; bom bunuh diri di Sidoarjo; dan serangan di kantor Kepolisian Daerah Riau.

Ihwal perdebatan tentang pemulangan WNI eks ISIS, pemerintah harus bekerja di dalam koridor undang-undang. Tentu saja untuk jangka panjang diperlukan visi mencegah radikalisme ekstrem ISIS berkembang di Indonesia. Radikalisme ekstrem itu bisa muncul karena kecewa kepada negara atau akibat frustrasi dengan kehidupan sehingga menjalankan ”agama kematian”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya