SOLOPOS.COM - Ilustrasi aktivitas Pelabuhan Peti Kemas Tanjung Priok Jakarta (Dwi Prasetya/JIBI/Bisnis)

Solopos.com, JAKARTA — Importir di Pelabuhan Tanjung Priok mengaku tekor hingga triliunan rupiah pertahun. Penyebabnya adalah praktik akal-akalan pembayaran uang jaminan peti kemas untuk perbaikan atau reparasi kontainer pada jasa angkutan laut atau rente yang memicu biaya tinggi logistik.

Sekjen Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (Ginsi) Achmad Ridwan Tento mengatakan, importasi melalui pelabuhan Priok rata-rata pertahun bisa mencapai 2,5 s/d 3 juta twentyfoot equivalent units (TEUs) dengan asumsi volume peti kemas ekspor impor di Priok sebanyak 6 juta TEUs/tahun.

Promosi Layanan Keuangan Terbaik, BRI Raih 3 Penghargaan Pertamina Appreciation Night

“Bayangkan jika uang jaminan peti kemas ditarik US$100 hingga US$300/per peti kemas, beban pemilik barang pertahun bisa mencapai US$ 300 juta,” ujarnya kepada Bisnis/JIBI, Minggu (24/8/2014).

Dia mengatakan importir pada prinsipnya tidak keberatan dengan uang jaminan peti kemas untuk antisipasi biaya reparasi kontainer eks impor tersebut. Namun itu harus dilakukan secara benar dan transparan serta melibatkan surveyor independen dalam penerbitan dokumen equipment interchange receipt (EIR) di pelabuhan.

Ekspedisi Mudik 2024

Pasalnya, kata dia, selama ini semua peti kemas eks impor dibebankan biaya perbaikan atau reparasi kontainer saat dipulangkan ke depo empty yang dibayarkan pemilik barang melalui perusahaan jasa pengurusan transportasi (JPT) saat hendak menebus delivery order (DO) kepada agen pelayaran.

“Bahkan, seringkali importir harus nombok karena biaya repair-nya lebih dari uang jaminan yang sudah disetorkan saat menebus DO di Pelayaran. Padahal kami tidak mengetahui kerusakan kontainer terjadi dimana, tetapi ujung-ujungnya kami pemilik barang yang menanggung,” paparnya.

Ridwan mengatakan, komponen biaya-biaya pelayanan di depo empty memakai mata uang dolar, termasuk untuk biaya storage dan pencucian kontainer eks impor. Untuk itu, kata dia, Ginsi mengusulkan supaya penerbitan dokumen EIR di seluruh fasilitas terminal peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok bisa dilaksanakan secara online dan terintegrasi dengan kegiatan di terminal peti kemas, trucking dan depo peti kemas empty maupun gudang importir, dengan melibatkan surveyor independen.

“Sehingga kami bisa mengetahui, kerusakan terjadi di mana, apakah saat di atas kapal, saat proses bongkar muat atau ketika delivery di atas trucking,”paparnya.

Dokumen EIR, kata dia berlaku secara internasional sebagai  bukti yang syah saat serah terima petikemas dari kapal ke terminal peti kemas kemudian kepada pihak angkutan darat (truk) dan seterusnya hingga ke depo petikemas atau gudang pemilik barang diluar pelabuhan.

Menurut Ridwan, untuk akurasi dokumen EIR selain dilakukan oleh surveyor independen diperlukan pengawasan oleh petugas Kantor Otoritas Pelabuhan serta petugas lapangan terminal. Peti kemas yang digunakan untuk impor masuk kategori barang impor sementara sebelum dipakai untuk ekspor kembali. Sehingga keberadaan depo empty yang menyimpan peti kemas eks impor tersebut mesti mendapat pengawasan ketat oleh Bea dan Cukai.

“Bea dan Cukai Priok semestinya bisa menertibkan dan mengawasi operasional depo empty yang menjadi buffer di Priok dalam kegiatan ekspor impor itu,” tuturnya.

Menyikapi persoalan ini, kata dia, Ginsi sudah membentuk tim kajian internal untuk memberikan rekomendasi solusi supaya pelabuhan Priok tidak gampang dijadikan masuknya kontainer-kontainer rusak milik pelayaran global pasca pengapalan ekspor impor.

“Jangan sampai Pelabuhan Priok jadi tempat sampah akibat mudahnya peti kemas-peti kemas rusak milik pelayaran global itu masuk dan direparasi di dalam negeri dengan beban biaya yang ditanggung oleh masyarakat Indonesia,”tegasnya.

Ketua forum pengusaha jasa transportasi dan kepabeanan (PPJK) Pelabuhan  Tanjung Priok, Muhammad Qadar Zafar, justru mendesak supaya ketentuan adanya uang jaminan peti kemas untuk biaya reparasi peti kemas supaya ditiadakan.

“Pemerintah mesti tegas, supaya istilah uang jaminan peti kemas sebelum menebus DO kepada agen pelayaran itu  dihilangkan saja sebab menyebabkan biaya tinggi logistik,”ujarnya dihubungi Bisnis/JIBI, Minggu (24/8).

Qadar menyoroti, usaha keagenan kapal/pelayaran semakin menjamur di dalam negeri karena ada potensi mengeruk keuntungan dengan berbagai cara. “Sedangkan kami (PPJK) hanya mendapat fee sekitar Rp100.000-200.000/dokumen. Jika kami meng-handle order importasi 10 peti kemas impor misalnya, PPJK mesti nalangi dulu sekitar Rp30 juta untuk jaminan biaya reparasi peti kemas. Sementara fee kami tidak lebih dari Rp200.000 perdokumen,”ujar dia.

Dirjen Perhubungan Laut Kemenhub, Bobby R.Mamahit, mengatakankomponen biaya di depo peti kemas sudah ada aturannya dan pengawasannya dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini otoritas pelabuhan setempat

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya