SOLOPOS.COM - Ilustrasi (istimewa)

Solopos.com, JAKARTA — Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang direncanakan berlaku pada tahun depan dinilai terburu-buru. Dampaknya, pemangku kepentingan kurang leluasa menyiapkan program insentif bagi industri yang terdampak kenaikan TDL.

Direktur Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian Elis Masitoh mengatakan kenaikan TDL yang tiba-tiba akan menyebabkan keterlambatan upaya antisipasi untuk menanggulangi dampak dari kebijakan tersebut.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

“Kenaikan TDL seharusnya terencana sehingga kami dapat melakukan program-program antisipasinya misalnya program insentif bagi industri yang mengganti teknologinya ke teknologi hemat energi,” kata Elis, Senin (29/11/2021), kepada Bisnis/JIBI.

Baca juga: Minyak Goreng dan Telur Ayam Ras Sumbang Inflasi November 2021

Menurut Elis, saat ini Kemenperin belum menyusun program atau insentif bagi industri tekstil untuk mempertahankan daya saingnya. Upaya lebih lanjut, kata dia, akan dirundingkan lebih dulu dengan pelaku industri serta asosiasi.

Sebelumnya, rencana kebaikan TDL muncul seiring wacana pemangkasan subsidi listrik untuk PT PLN (Persero) sekitar 8,13 persen, dari Rp61,53 triliun menjadi Rp56,5 triliun pada 2022. Penurunan subsidi listrik berpotensi menyebabkan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik yang ditanggung PLN menjadi lebih besar. Dampaknya, kenaikan TDL tak dapat dihindari untuk menutup penurunan subsidi dari pemerintah.

Penerapan Pajak Karbon

Selain itu, kenaikan TDL juga dibayang-bayangi rencana penerapan pajak karbon pada 2022. Pajak emisi yang ditetapkan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yaitu sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Baca juga: Gulirkan Program Satu Juta Kompor Induksi, PLN Siapkan Diskon Khusus

Elis menilai kenaikan TDL akan berdampak ke industri tekstil di semua lini, mengingat ongkos energi berkontribusi sebesar 10 persen hingga 25 persen dari biaya produksi. Tak dapat dihindari, kenaikan harga pokok produksi (HPP) akan dibebankan kepada konsumen, sehingga menurunkan daya saing produk lokal. “Ini akan menurunkan daya saing produk TPT dari produk impor di dalam negeri, sementara kami mempunyai program substitusi impor,” kata Elis.

Sebelumnya terungkap Pemerintah berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL) 13 golongan pelanggan nonsubsidi menyusul turunnya subsidi listrik mencapai 8,2 persen dari Rp61 triliun menjadi Rp56,5 triliun pada 2022. Rencana itu terungkap setelah Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengadakan focus group discussion atau FGD bersama sejumlah perwakilan industri lewat aplikasi Zoom pada Senin (15/11/2021).

Adapun, FGD itu membahas hasil riset peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus terkait konsekuensi kenaikan TDL bagi industri dalam negeri. Berdasarkan dokumen yang diterima, kenaikan TDL pada golongan I-3 / >200 kVA dan I-4 / >=30.000 kVA yang biasanya digunakan oleh industri melesat tinggi masing-masing 15,97 persen dan 20,78 persen. Dokumen itu memperlihatkan tarif sesuai keekonomian golongan I-3 sebesar Rp1.203,78 lebih besar dari tarif lama di angka Rp1.114,74.

Baca juga: Buntut Temuan Toilet SPBU Berbayar, Ini Perintah Erick Thohir ke BUMN

Di sisi lain, tarif golongan I-4 sesuai keekonomian dipatok sebesar Rp1.203,83 dari tarif lama di posisi Rp996,74. “Ini hanya inisiasi dari pemerintah untuk menyesuaikan terhadap TDL karena subsidi listriknya mau dikurangi di APBN 2022 secara keseluruhan maka yang menanggung beban biaya ya industri dan rumah tangga,” kata Heri saat dikonfirmasi ihwal FGD tersebut, Rabu (17/11/2021).

Kendati demikian, Heri menegaskan dirinya tidak setuju jika pemerintah melakukan penyesuaian TDL dalam waktu satu hingga dua tahun ke depan. Alasannya, kebijakan itu bakal menggerek naik struktur biaya produksi industri dalam negeri di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional.

Berkurangnya Subsidi Listrik

Menurut Heri, manuver untuk menaikkan TDL itu dapat terlihat dari implementasi sejumlah kebijakan yang menaikkan ongkos PT PLN (Persero) belakangan ini seperti pajak karbon, naiknya harga batubara serta berkurangnya nilai subsidi listrik tahun depan. “Jadi arahnya sepertinya ke menaikkan tarif dasar listrik melihat dari dokumen-dokumen yang ada cuma dunia usaha keberatan lantas bagaimana solusinya? Itu pekerjaan saya, saya diminta langsung pak Sekjen Kemenperin,” kata dia.

Baca juga: Penerbangan Internasional ke Bali Tambah 7 Rute, Aturan Karantina Ketat

Kepala Biro Perencanaan Kementerian Perindustrian Andi Rizaldi memaparkan dalam FGD tersebut menyebutkan bahwa rencana kenaikan itu merupakan suatu hal yang cukup dilematis bagi pemerintah.

“Ini merupakan PR [pekerjaan rumah] untuk pemerintah bagi kami, bagi pemerintah, juga bagi asosiasi untuk mencari jalan tengah terkait dengan masukan yang perlu kami pertimbangkan sama-sama dari pemerintah maupun kesanggupan dunia usaha,” katanya.

Sementara itu, Direktur Energi Primer PLN Rudy Hendra Prastowo tidak dapat berkomentar banyak ihwal adanya rencana kenaikan tarif listrik hingga 20,78 persen ini. “Mungkin saja [sekadar wacana]. Karena tarif itu domain Kementerian ESDM, bukan PLN,” katanya, Minggu (21/11/2021).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya