SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Istimewa/healthdoctrine.com)

Harianjogja.com, JOGJA-Risiko kehamilan remaja cenderung lebih tinggi dialami kalangan perempuan yang tidak mengenyam pendidikan layak dan tinggal di daerah terpencil.

Padahal, kehamilan remaja memiliki dampak yang sangat serius terhadap pendidikan, kesehatan dan pekerjaan jangka-panjang para remaja perempuan.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Perkara pengajuan dispensasi kawin di wilayah DIY mengalami peningkatan setiap tahun. Permohonan dispensasi kawin biasanya diajukan karena dari mempelai wanita sudah hamil terlebih dahulu.

Makanya, kedua belah pihak memaksakan agar segera terjadi perkawinan. Data pengajuan dispensasi kawin di Pengadilan Agama (PA) di seluruh DIY dari tahun ke tahun pun cukup memprihatinkan.

Di wilayah Jogja misalnya, PA Jogja mencatat hingga November 2013 ini tercatat 48 perkara yang mengajukan dispensasi kawin. Berbeda dengan wilayah kota, di Kulonprogo per November ini sudah tercatat 57 perkara yang sama diajukan ke PA Wates.

Di PA Bantul, perkara yang sama hingga Juli 2013 tercatat 87 kasus, Sleman (lebih dari 80 kasus), dan Gunungkidul hampir menyentuh 100 kasus.

Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) Perwakilan Indonesia Jose Ferraris mengingatkan, resiko kehamilan remaja yang cenderung terjadi di kalangan perempuan yang tidak mengenyam pendidikan layak, tinggal di daerah terpencil dan hidup dalam kemiskinan. Perempuan dari kaum minoritas dan kelompok marjinal, katanya, rentan terhadap masalah tersebut.

“Begitu juga dengan mereka yang memiliki keterbatasan akses dan informasi mengenai kesehatan reproduksi dan seksual, beresiko tinggi mengalami kehamilan pada usia remaja,” ungkap Ferraris saat memberikan sambutan pada acara Temu Remaja DIY di Inn Garuda Jogja, awal pekan ini.

Untuk memberi pendidikan dan mengantisipasi bahaya kehamilan pada remaja, UNFPA mengundang 500 anak muda berusia 15-24 tahun untuk berdiskusi dan berbagi cerita mengenai masalah kehamilan remaja.

Selain sesi diskusi, para peserta juga mendapatkan pembekalan informasi mengenai hal-hal yang terkait dengan gender, seksualitas, pubertas, dan HIV/AIDS. Hal itu dilakukan untuk meningkatan kesadaran tentang masalah kehamilan remaja di Indonesia.

Pasalnya, sikap permissif orang tua dan masyarakat terhadap perilaku negatif anak-anak belakangan ini, dinilai sebagai salah satu penyebabnya. Hasil Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) DIY pada 2011 menunjukkan, remaja yang pernah berhubungan seks sebesar 10,4%. Dua tahun sebelumnya,  Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY pada 2009 mengungkap penelitian di mana sekitar 12% remaja DIY pernah melakukan hubungan seks.

Tak salah bila Direktur PKBI DIY Maesur Zaky mendesak kesehatan reproduksi (Kespro) dimasukkan dalam kurikulum sekolah. “Itu yang paling efektif untuk menekan tingginya kasus kehamilan pada remaja. Masukkan Kespro dalam kurikulum sekolah, bukan hanya disisipkan saja. Kalau Kespro dijadikan pelajaran tersendiri, maka hal itu akan diikuti oleh semua pelajar remaja,” ujarnya, Kamis (14/11/2013) di Gedung DPD RI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Selain mendesak Kespro dimasukkan dalam kurikulum sekolah, upaya lain yang harus dilakukan adalah dengan mengubah isi Undang-undang Pernikahan yang mensyaratkan usia minimal pernikahan adalah 16 tahun.

Menurut Zaky, seharusnya batas minimal usia pernikahan adalah 18 tahun. “Ini terkait dengan masalah psikologi perempuan. Kalau usianya 16 tahun, tentu belum siap memasuki jenjang pernikahan,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya