SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jogja–Usulan untuk melakukan relokasi maupun transmigrasi kepada ribuan warga korban erupsi Merapi bukanlah suatu solusi dan jawaban tepat. Relokasi justru bisa menimbulkan masalah/efek lain terhadap warga.

Sebab relokasi akan memutus sejarah ruang, budaya, sosial dan ekonomi warga yang hidup di tempat itu. Selain itu, relokasi akan menimbulkan cost yang besar.

Promosi Direktur BRI Tinjau Operasional Layanan Libur Lebaran, Ini Hasilnya

“Relokasi itu bukan jawaban yang tepat, banyak cost dan memutus sejarah mereka,” ungkap pakar tata ruang dan perencanaan wilayah dan kota Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Sudaryono  kepada wartawan di sela-sela workshop “Gagasan Tata Ruang Wilayah Merapi 2010” di gedung Graha Sabha Pramana, di Jogja, Sabtu (4/12).

Menurut Sudaryono, tidak mudah merubah warga yang direlokasi untuk berganti pekerjaan. Misalnya warga yang dulunya sebagai petani dan peternak itu berubah menjadi buruh atau bekerja di sektor lain di wilayah urban akan menemui banyak kendala.

“Sifat perekonomian agraris seperti yang dilakukan warga sekarang ini sukar diubah. Apalagi umur mereka sudah di atas 40 tahun,” ungkap staf pengajar jurusan arsitektur itu.

Lantas apa solusinya. Dia mengusulkan warga yang tempat tinggalnya terkena awan panas bukan di relokasi tapi cukup digeser zonasinya. Zonanya digeser sekitar 500 meter dari ujung terluar limpasan awan panas yang ada di daerah tersebut terutama di zona 5-20 km dari puncak.

Karena mereka hidup sebagai petani dan peternak, maka lahan dan bekas tempat tinggalnya bisa dijadikan sabana/padat rumput. Sabana tersebut bisa jadi sumber pakan rumput untuk mencukupi kebutuhan ternaknya. Sebab dalam jangka pendek, daerah yang terkena erupsi hanya bisa ditanami tanaman talas, pisang dan rumput. Sedangkan tanaman keras hanya bisa ditanam untuk jangka menengah dan panjang.

“Dari zona-zona yang telah ditetapkan itu, kita juga harus membuat aturan tegas dan tidak boleh ditawar lagi kalau ada bahaya, mereka harus segera turun,” katanya.

Meski dijadikan sabana lanjut dia, hak kepemilikan dan nilai atas tanah itu oleh warga tetap tidak hilang dan harus segera diamankan. Untuk pengelolaannya bisa dilakukan secara berkelompok dan dikelola dusun. Ciri khas masyarakat lereng Merapi sebagai masyarakat agraris pertanian dan peternakan juga tak boleh berubah.

“Itu identitas. Yang berubah hanya fisiknya saja dan mereka bisa menikmati hasilnya,” jelas Sudaryono.

dtc/rif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya