Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi
Menantu PB XII itu menegaskan, rekonsiliasi dua raja antara Tedjowulan dan Hangabehi dinilai tak akan ada gunanya dan tak berpengaruh pada kewibawaan keraton. Sebab, makna raja di era sekarang ini sudah tak memiliki kekuasaan sama sekali, selain hanya simbol pimpinan dalam sebuah upacara adat. Keberadaannya pun, bahkan bisa juga ditiadakan jika memang tak memungkinkan. “Buat apa rekonsiliasi antar raja. *Lha wong raja sekarang itu tak lebih hanya asesoris Keraton. Yang mengatur pemerintahan Keraton itu adalah lembaga adat, bukan raja,” papar pria yang pernah duduk sebagai anggota DPRD Kota Solo itu.
Bukan hanya itu, sambung Satrio, rekonsiliasi yang ditawarkan Tedjowulan juga dinilai salah alamat jika menginginkan Keraton kembali berwibawa. Menurutnya, kewibawaan keraton itu akan kembali jika ada kerelaan sikap dari Tedjowulan untuk minta maaf kepada keraton dan menginsafi segala kesalahan yang pernah dilakukan selama delapan tahun ini. “Rekonsiliasi itu apa? *Lha wong* dia yang melanggar aturan Keraton, kok malah minta rekonsiliasi. Mestinya dia yang taubat,” tambahnya.
Itulah sebabnya, Keraton akan tetap berjalan sesuai dengan hukum adat yang dimilikinya. Disinggung soal proses hukum yang diduga melibatkan PB XIII Hangabehi, Satrio menegaskan, biarlah proses hukum berjalan sesuai aturan yang berlaku. “Kalau dia salah, ya biar diproses hukum. Hukum adat juga sudah memberinya teguran,” paparnya seraya mengingatkan bahwa Keraton hanya akan membela nilai-nilai luhur keraton, bukan sosok rajanya.
Menanggapi hal itu, Humas PB XIII Tedjowulan, KRT Pradotonagoro menegaskan bahwa pemerintah justru punya hak besar untuk mengintervensi Keraton demi kebaikan. Sebab, pemerintah selama inilah yang memberi anggaran rutin tiap tahun, baik lewat Pusat, Provinsi, maupun kota. “Kalau dana *nggak* cair saja bingung, kenapa sekarang bilang pemerintah tak boleh intervensi,” tegasnya.
Bambang justru mempertanyakan keberadaan lembaga adat yang konon memiliki kekuasaan absolut di atas raja itu. Keberadaan lembaga adat tersebut, menurut Bambang justru cacat hukum dan hanya menjadi sarang kepentingan orang-orang dalam keraton. “Lembaga adat itu tak pernah diketahui PB XIII dan tak ada tandatangan beliau. Saya justru curiga, pembentukan lembaga adat ini ada maksud-maksud tak baik,” paparnya.