SOLOPOS.COM - Fajar S. Roekminto/Istimewa

Solopos.com, SOLO -- Permasalahan yang kini menghampiri Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPC PDIP) Kota Solo dapat disebut sebagai sesuatu yang menggigit, menggetarkan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Jawa Tengah di Kota Semarang, dan membara di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP di Jakarta.

Di Harian Solopos edisi 16 Desember 2019 saya menyampaikan gagasan bertajuk  Menafsirkan Langkah Politik Gibran, langkah Gibran Rakabuming Raka yang membuat DPC PDIP Kota Solo menjadi ”panas.” Kemunculan Gibran secara otomatis membuat posisi Achmad Purnomo sebagai calon wali Kota Solo yang didukung DPC PDIP Kota menjadi belum pasti.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Gibran hadir dan membalikkan semua prediksi sekaligus menghadirkan  pertanyaan kepada siapa rekomendasi DPP PDIP akan diberikan? Purnomo dan Gibran tentu memiliki keyakinan sekaligus harapan bahwa rekomendasi akan diberikan kepada diri mereka masing-masing. Tidak dapat dimungkiri bahwa kehadiran Gibran telah memengaruhi sekaligus ”mengacaukan” para petinggi DPP PDIP di Jakarta untuk memilih Purnomo atau Gibran.

Kondisi ini secara otomatis membuat Ketua DPC PDIP Kota Solo sekaligus Wali Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, pusing tujuh keliling. Bagaimanapun, meski tidak melakukan intervensi, eksistensi Presiden Joko Widodo sebagai ayahanda Gibran, tentu sangat berpengaruh pada keputusan subjektif petinggi DPP PDIP.

Petinggi PDIP yang memiliki hubungan dekat dengan Presiden Joko Widodo dan para pendukung Gibran tentu berharap Gibran mendapat rekomendasi dan mereka pasti mencoba memengaruhi Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDIP dan penentu rekomendasi untuk calon kepala daerah.

Pendukung Purnomo berharap rekomendasi diberikan kepada pasangan Purnomo dan Teguh Prakoso sebagai calon wali kota dan calon wakil wali kota yang didukung DPC PDIP Kota Solo. Di konstituen PDIP Solo telah terjadi ”perpecahan” menjadi dua kubu: pendukung dan simpatisan PDIP pendukung Purnomo dan sukarelawan yang mendukung Gibran.

Begitu tingginya kompleksitas politik ini sehingga Ketua DPC PDIP Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, mengaku ogah memikirkan rekomendasi untuk calon wali Kota Solo yang akan diumumkan oleh DPP PDIP. F.X. Hadi Rudyatmo memang tidak memiliki wewenang dalam menentukan calon wali kota dan calon wakil wali kota karena kewenagan itu ada di tangan DPP PDIP (Megawati Soekarnoputri).

Penanda

Sebagai Ketua DPC PDIP Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, tentu saja memiliki tanggung jawab kepada petinggi partai dan para pendukung. Kondisi seperti inilah yang menghantui dirinya. Sebagai pemimpin, dia harus mampu membawa aspirasi konstituen, namun dia harus mengikuti aturan partai karena masih ada hierarki yang lebih tinggi yang mau tidak mau harus diikuti.

Belum jelasnya rekomendasi akan diberikan kepada siapa menjadikan apa yang dilakukan (elite) DPP PDIP seolah-olah menjadi ”penanda” ke mana rekomendasi akan diberikan. Dalam rapat kerja nasional PDIP, Jumat (10/1),  Purnomo mendapat undangan sedangkan Gibran tidak. Melihat fakta ini, asumsi dalam benak pendukung adalah keyakinan bahwa Purnomo akan mendapatkan rekomendasi.

Gibran mengatakan dia adalah anggota baru PDIP, maka dia tidak diundang dan dia hanya akan mengikuti perintah partai. Ada beberapa prediksi berkaitan dengan kemungkingan rekomendasi akan diberikan. Pertama, rekomendasi akan diberikan kepada Achmad Purnomo-Teguh Prakoso karena Purnomo didukung DPC PDIP Kota Solo.

Purnomo menjadi anggota PDIP selama beberapa tahun dan memiliki pengalaman sebagai Wakil Wali Kota Solo. Dengan pengalaman ini ”dapat dipastikan” jalan Purnomo menjadi mulus untuk mendapatkan rekomendasi sebagai calon wali kota karena telah sesuai dengan aturan kepartaian. Kedua, rekomendasi diberikan kepada Gibran. Mungkinkah?

Pemilihan Gibran sebagai calon wali kota tentu sangat berisiko. Betul bahwa Gibran mampu menjadi manajer perusahaan yang dia pimpin, namun menjadi wali kota tidak sekadar mengatur karyawan dalam jumlah terbatas dan tanggung jawab yang tidak terlalu luas. Sebagai wali kota Gibran tentu harus menghadapi kompleksitas persoalan yang tidak muncul ketika dia memimpin perusahan.

Jelas PDIP harus hati-hati dalam hal ini. Ketiga, rekomendasi diberikan kepada Purnomo sebagai calon wali kota dan Gibran sebagai calon wakil wali kota.  Keputusan memilih keduanya untuk mengakomodasi kedua belah pihak, Purnomo maupun Gibran.  Apakah mekanisme pemilihan kepala daerah cukup hanya dengan pertimbangan seperti yang saya jabarkan di atas? Tentu tidak.

Sangat Penting

Pemilihan kepala daerah merupakan sesuatu yang sangat penting bagi partai politik, demikian juga bagi PDIP. Kota Solo adalah kota ”merah”, kotanya PDIP. Pemilihan wali kota kali ini tentu akan sangat berpengaruh pada pemilihan umum yang akan datang. PDIP ingin menjadi pemenang untuk kali ketiga dalam pemilihan umum setelah menjadi pemenang dua kali berturut-turut pada 2014 dan 2019.

Dalam pembukaan rapat kerja nasional PDIP ke-47 di Jakarta, Megawati menantang kader-kader PDIP dengan berkata,”Sanggupkah kita menang tiga kali? Jadilah banteng otot kawat tulang besi!” PDIP tentu akan memilih calon wali Kota Solo yang mumpuni, paling tidak sekelas Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Loyalitas keduanya kepada partai dan semangat pengabdian kepada rakyat tak perlu diragukan lagi.

Apakah Purnomo atau Gibran memiliki loyalitas dan pengabdian yang sama dengan keduanya? Megawati tentu memiliki alasan subjektif ketika mengeluarkan rekomendasi, entah itu lewat data yang akurat atau hanya berdasar ”bisikan” orang-orang dekatnya. Pilihan atas Purnomo atau Gibran adalah pilihan yang paling realistis saat ini.

Gibran merupakan generasi milenial dan bisa sangat berpengaruh dalam pemilihan umum mendatang. Karakter milenial, yang tidak dimiliki oleh Purnomo, tentu akan memberi warna dalam kepempinan serta kemampuan manajerial yang dibutuhkan partai serta berguna bagi kepentingan rakyat. Dia juga kreatif, misalnya ketika dia membuat aplikasi pencari kerja bernama Kerjaholic.

Bisa saja Gibran memiliki mimpi menjadikan Solo sebagai kota yang menjadi pembicaraan dalam pergaulan internasional. Setidaknya Gibran memiliki ”kegelisahan” aktas kondisi kotanya, kota yang memiliki banyak potensi besar. Bagaimana dengan Purnomo? Pengalaman sebagai wakil wali Kota Solo tentu sangat berharga dalam memimpin Kota Solo dan diharapakan dapat membimbing Gibran.

Apabila pasangan ini memiliki visi dan misi yang sama dalam menyelesaikan persoalan di Kota Solo dan menciptakan kesejahteraan masyarakat Solo serta menjadikan Solo semakin maju dalam semua aspek maka pasangan ini akan menjadi pasangan kuat. Situasi menjadi berbalik apabila keduanya memiliki visi dan misi berbeda dalam membangun Kota Solo.

Ketika kepala daerah terjebak dalam pemikiran yang stagnan dan menjadikan kekuasaan hanya sebagai alat, tidak memiliki pola pikir tentang perubahan dan terjebak pada pekerjaan admistratif belaka, sebuah kota tidak akan memiliki gairah. Kota berjalan hanya begitu-begitu saja dan tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan kota-kota lain di dunia.

Kota dibangun dengan baik apabila pemimpin memiliki hubungan yang baik dengan rakyat yang dipimpin, memiliki visi dan misi yang sama dengan wakilnya, serta tunduk kepada partai yang telah menjadikan sebagai kepala daerah. Persoalan yang terjadi di Kota Solo, dan di mana pun, tidak akan selesai ketika pemimpin tidak kreatif dan tidak memiliki keinginan menjadikan Kota Solo berubah menjadi dan lebih maju.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya