SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pascakematian salah satu pemegang kartu kredit Citibank Indonesia, Bank Indonesia (BI) tengah berencana mengkaji kembali berbagai aturan untuk memperketat pemberian kartu kredit (KK). Salah satunya dalah mengkaji pembatasan  plafond KK maksimal 30% dari penghasilan pemegang KK.

Aturan hasil kajian ini tengah digodok oleh Direktorat Akuntansi dan Sistem Pembayaran BI dan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI). Selain itu, masalah umur minimal seseorang untuk mendapatkan KK juga tengah dikaji. Intinya adalah BI tengah melakukan reformasi terkait dengan persyaratan untuk mendapatkan KK.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Jadi ke depan, perbankan  harus benar-benar selektif terhadap calon pemakai KK. Selama ini bank dalam memberikan KK tidak memperhatikan faktor besaran penghasilan calon pemakainya. Akibatnya, banyak nasabah KK yang kemudian macet karena penghasilannya tidak mencukupi untuk menutup pengeluaran yang ditransaksikan dengan KK. Maklum, selama ini masyarakat sudah berlebihan dalam menggunakan KK. Bahkan ada  yang menggunakan KK untuk melunasi utang lainnya, termasuk utang KK lain yang dipunyainya.

Untuk itu, BI berencana melakukan perbaikan (revisi) terhadap Peraturan BI No 11/11/2009 tentang Tata Cara Alat Pembayaran, karena masih kurang rinci dan detil. Aturannya akan lebih diperketat. Negara-negara lain yang sudah maju sistem pembayarannya juga sudah melakukan perbaikan dalam mekanisme pembuatan KK.

Negara-negara itu sudah mulai memberlakukan aturan yang kian ketat bagi penerbitan KK. Negeri ini adalah negeri yang paling mudah untuk mendapatkan kredit melalui KK. Maklum, selama ini persyaratan yang perlu dipenuhi sangat mudah dan gampang. Bank kurang menyeleksi calon pemegang KK, sehingga angka kredit bermasalahnya cenderung meningkat tajam.

Prinsip KYC
Dalam berhubungan dengan nasabahnya, perbankan mengenal istilah know your customer (KYC) atau prinsip mengenal nasabah. Terlebih untuk nasabah kredit, dimana prinsip kehati-hatian wajib diterapkan, maka prinsip KYC ini merupakan sebuah keharusan.

Lebih-lebih lagi kalau sebuah bank akan memasarkan kredit dengan risiko tinggi semacam KK, maka bank harus benar-benar menerapkan prinsip KYC. Oleh sebab itu, pemasaran KK apabila diteropong dari sisi KYC sungguh sangat mencemaskan. Bayangkan, hanya bermodalkan KTP dan fotokopi KK dari bank lain yang dipunyainya, seseorang sudah bisa mengajukan KK, yang seringkali dipasarkan melalui SMS atau telepon.

Semestinya, semuanya itu dilakukan dalam koridor adanya hubungan kenasabahan (customer relationship) antara customer dengan pihak bank. Terlebih produk KK adalah jenis kredit tanpa jaminan kebendaan (collateral) apapun. Jangan sampai KK berubah menjadi kepanjangan dari Kredit Kolutif, yang tidak perlu dikembalikan.

Nah, dalam kondisi semacam ini, faktor karakter nasabah (sebagai salah satu pilar penyangga pemberian kredit) menjadi menu utama yang harus digali. Bagaimana kita bisa menggali nasabah kalau hanya mengandalkan KTP dan KK semata? Cara semacam ini sungguh bagaikan kita menyimpan bom waktu yang siap meledak kapanpun juga.

Pemasaran KK semestinya dilakukan dalam koridor KYC. Artinya, pemasaran KK semestinya diberikan hanya kepada orang-orang yang sudah menjalin hubungan kenasabahan (customer relationship) dengan bank dalam periode tertentu.

Misalnya sudah membuka rekening selama minimal tiga bulan dan terlihat keaktivan mutasi rekeningnya. Kepada para nasabah semacam inilah, KK layak untuk dipasarkan karena bank sudah mengenal dengan persis siapa calon debitur KK-nya, karena sudah melalui screening berupa KYC sewaktu si nasabah mulai menjalin hubungan kenasabahan yakni sewaktu membuka rekening di bank.

Problem yang muncul ke permukaan sebenarnya adalah penggunaan dari agen pemasar yang selama ini memang dipakai oleh bank-bank dalam memasarkan produk semacam KK. Kendati mereka sudah di-cover dengan perjanjian kerja sama yang ketat, namun dalam memasarkan produk bank, seringkali bank yang bersangkutan kesulitan untuk memonitor aktivitas para agen penjual ini.

Hal ini terlihat dari fenomena, kendati BI sudah melarang bank memasarkan KK dengan spam SMS, namun masih banyak juga SMS Spam yang berkeliaran di banyak ponsel. Itu artinya, rentang kendali bank-bank pemilik KK juga sangat terbatas.

Pihak bank pemasar KK mungkin juga kesulitan membendung ulah dari para tenaga pemasarnya akibat hubungan  kontrak keagenan  dengan agen pemasar KK ini. Sudah jamak diketahui, bahwa bank-bank penjual KK biasanya melakukan kerja sama dengan para agen penjual (pemasar) yang memang mengkhususkan diri untuk memasarkan produk KK ini.

Cara paling mudah tentunya adalah dengan menawarkan produk ini melalui medium SMS, yang hanya menelan biaya murah meriah ketimbang harus memasarkan door to door, yang jauh memakan dana dan daya relatif lebih besar. Inilah bentuk dilemma yang muncul di balik ribut pemasaran KK dan Kredit Tanpa Agunan (KTA) via SMS.

Pesan inti dari kolom ini adalah, BI memang harus segera mengatur pemberian KK dari bank-bank penerbit KK. Mereka sebenarnya sangat mudah memonitor keberadaan calon pemegang KK dari mekanisme BI-Checking yang wajib dilakukan sebelum seseorang mendapatkan KK yang baru. Kalau sudah ada KK yang bermasalah di bank lain, selayaknya tidak diberikan KK baru.

Termasuk kalau plafond yang dimiliki calon pemegang KK sudah melampui ambang batas kemampuan bayar (maksimal 30% dari total penghasilan), maka bank sebaiknya juga menolak permohonan yang bersangkutan. Mekanismenya mirip dengan pemberian jenis kredit lainnya.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya