SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Sore itu, ketika sedang baca tulisan tentang kasus pajak di koran ini, angkringan Pakdhe Harjo mulai ramai. Menjadi makin seru, apalagi karena pengunjung itu adalah mereka yang cukup kritis berdebat di angkringan saban pekan. Awal debat berangkat dari simpati kepada teman Noyo yang istrinya dikelabui gerombolan perampok bersepeda motor ketika sedang mengemudikan mobilnya di jalanan.

“Kejahatan jalanan makin marak… karena polisinya sibuk urusin ‘markus’. Mungkin media harus angkat street crime yang marak ini selain kasus Susno Duadji,” kata Suto membuka obrolan.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

“Ya, ini dampak dari jahatnya korupsi yang memperlemah ekonomi masyarakat sehingga merampok di jalanan. Koruptor-koruptor dan markus memang layak dicap teroris…” sambung
Noyo.

Suto menimpali lagi, “Koruptor memang teroris yang membajak kesejahteraan rak yat. Bayangkan kita mbayar pajak, pendapatan yang sedikit dipotong, eh si Gayus enak aja ngambil Rp25 miliar. Seharusnya isu itu dikembangkan rame-rame oleh media.”

Parto pun tak mau kalah, “Pengalaman orang-orang yang deal dengan petugas pajak, jasa konsultasi pajak masih sering terjadi, ya.” Saya berpikir, kasihan nasib reformasi birokrasi, apalagi Ditjen Pajak merupakan contoh reformasi yang sukses.

Gus Ipul pun nimbrung, “Pegawai Ditjen Pajak ada 32.000 orang. Sepersepuluh saja seperti Gayus, negara dirugikan 3.200 x Rp25 miliar… itu Rp80 triliun….”
“Apa kata dunia?… Dunia kok jadi gila. Hidup reformasi birokrasi!” kata si Suto ngeledek.

“Itulah kalau reformasi birokrasi dianggap cukup dengan naik gaji…,” sambungnya lagi.

“Jangan-jangan reformasi birokrasi malah menghasilkan sekelompok birokrat yang kreatif ngakalin uang negara. Itu namanya birokrasi jadi birokreasi dab,” begitu kekhawatiran si
Darto.

Istilah reformasi birokrasi memang paling sering diucapkan para pejabat di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun terakhir ini, ketimbang di era-era sebelumnya. Di era pemerintahan inilah tekad untuk melakukan reformasi birokrasi begitu membara. Jakarta, terutama dari Lapangan Banteng, gencar mereformasi perilaku  irokratnya, termasuk mendongkrak standard gaji, di bawah komando Mbak Sri, atau Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Karena Garin Nugroho, sutradara kondang asal Jogja, sedang menyiapkan film berjudul Mbak Sri-meski sebenarnya lebih banyak dipanggil Mbak Ani-saya pun menggunakan panggilan itu untuk memberi atribusi pada menteri keuangan yang institusinya maupun pribadinya sedang banyak disorot tersebut.

Bukan apa-apa. Ketika reformasi birokrasi yang berawal dari Departemen Keuangan-dengan ikon Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Jendral Bea Cukai-dianggap begitu berhasil, dan tahun ini akan diperluas ke 11 instansi lainnya termasuk  kejaksaan, Kehakiman dan Kepolisian, apes nian tatkala muncul kasus Gayus Tambunan. Kasus itu menjadi pukulan telak bagi institusi pajak dalam mengelola birokrasi perpajakan akibat ulah sejumlah oknum di dalamnya.

Jangan heran jika Anda kini lebih banyak mendengar istilah ‘makelar pajak’, setelah ‘makelar kasus’. Ironisnya, istilah itu muncul di saat Depkeu sedang menanti hasil akhir penyerahan SPT Tahunan dari sedikitnya 15 juta pemegang Nomor Pokok Wajib Pajak di negeri ini. Entah apakah harus kesal atau berterima kasih kepada Susno Duadji yang punya ulah atas terungkapnya makelar pajak ini.

Tetapi mencuatnya isu ‘makelar pajak’ kini menjadi perbincangan luas, termasuk di kalangan orang-orang narsis yang memiliki akun Facebook. Bahkan ada gerakan menolak pembayaran pajak segala. Sadis memang, ketika dampak persepsi mulai bekerja. Bukan tidak mungkin, persepsi ini bisa memutarbalikkan arah pencitraan pemerintahan Yudhoyono membangun birokrasi yang bersih dan bebas korupsi. Apalagi dengan embel-embel bahwa birokrasi yang bersih dan bebas korupsi itu penting untuk membangun demokrasi, kesejahteraan dan keadilan.

***

Demokrasi di Indonesia memang baru seumur jagung. Tetapi, banyak pihak, termasuk Wakil Presiden Boediono, meyakini bahwa kita sudah naik kelas ke demokrasi yang mapan, meski diakui masih banyak noisy di sana-sini. Saya tidak bermaksud mengaitkan berbagai kasus belakangan ini, mulai dari kasus Century, kasus Bibid-Chandra, kasus makelar pajak, hingga kasus Susno Duadji, dengan kondisi demokrasi yang noisy tadi.

Namun, demokrasi kita saat ini, diakui atau tidak, suka atau tidak, telah menghasilkan medan tempur yang leluasa bagi para petualang sejati. Ulah Susno Duadji, yang membuka satu demi satu, secara blak-blakan, kasus makelarisme di tubuh polisi, kini pajak, entah kemudian apalagi, bagi saya adalah potret demokrasi makelarisme, yang menghasilkan birokrasi makelaristik.

Taktik Susno, banyak yang meyakini, adalah bagian dari upayanya untuk membuka tabir pat gulipat di berbagai institusi politik, hukum maupun ekonomi di negeri ini, sebagai salah satu upaya menyelamatkan diri. Prihatin dan menyedihkan jika itu yang benar-benar terjadi, yang mempertontonkan makelarisme demokrasi memang ada di mana-mana. Keprihatinan itu kian kuat, ketika pemerintah sendiri kemudian cenderung berkeinginan memberikan ‘penghargaan’ kepada penjahat pelaku korupsi.

Seperti kata teman saya ini; “…konon akan dibuat penjara khusus (yang nyaman dan manusiawi) untuk koruptor, sebab menurut menterinya, di antara koruptor ada tokoh-tokoh yang pernah berjasa untuk negara ini….Gila ndak dro?” katanya.

Oleh Arief Budisusilo
DEWAN REDAKSI HARIAN JOGJA

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya