SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Telah diperintahkan oleh Tuhan kepada manusia untuk melakukan iqra, yakni agar manusia membaca sandi-sandi atau membaca ayat-ayat atau tanda-tanda Tuhan. Maksudnya adalah tanda-tanda Tuhan yang ada di alam dan juga yang terdapat pada diri manusia. Untuk itu Tuhan memberikan kepada semua manusia instrumen untuk melaksanakan tugas itu, yakni otak, hati dan fisik.

Otak kita untuk berpikir, hati untuk merasakan, dan fisik kita untuk mengindera, dan bergerak sesuai dengan kehendak. Ketiga instrumen ini sangat fungsional melakukan kajian alam ciptaannya, sehingga manusia dapat mengenal kebesaran-Nya.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Saya rasa, bila kewajiban manusia di alam itu dikaitkan dengan manusia dalam menyikapi ilmu, bangsa Barat yang telah memiliki kedudukan yang benar, mereka telah melakukan iqra. Mereka mengkaji ilmu dengan menempatkan objek alam sebagai sasaran dengan metodologinya, dan diperoleh konsep keilmuan yang dibangun dalam Badan Ilmu.

Bila digambarkan dalam wujud segitiga, di tengah  segitiga itu terdapat ilmu, di satu ujungnya terdapat objek, di ujung yang lain terdapat metode, dan di ujung sisanya adalah badan ilmu. Jadi untuk melakukan kajian ilmu yang benar didukung oleh tiga pilar utama itu menjadi objek, metode dan badan ilmu. Dengan demikian, bangsa Barat dengan tidak sadar telah melaksanaan iqra, dan dari kegiatannya itu Tuhan mengawal mereka, sehingga mereka dibimbing menemukan berbagai hal tentang ilmu, baik isi maupun metodologinya.

Di bidang metodologi, tidak mungkin Francis Bacon sebagai manusia biasa menemukan metoda eksperimen tanpa intervensi Tuhan. Perintah untuk membaca memiliki konsekuensi untuk diperoleh bacaan yang benar. Oleh karena itu Tuhan membimbing manusia menemukan metode kajiannnya.

Ternyata dengan ditemukannya eksperimen perkembangan ilmu maju dengan pesat, terutama ilmu-ilmu tentang alam. Begitu juga pada temuan Descartes tentang cara mempelajari ilmu yang dinyatakan dalam pernyataan “Pelajari ilmu dengan mengkaji sejarah kejadiannya.” Temuan ini juga sangat spektakuler, tanpa intervensi Penguasa Alam tidak mungkin manusia dapat merumuskannya.

Saya berpendapat, kita hanya pandai membahas masalah-masalah masa lampau (bukan jasmerah) tetapi kering memandang masa depan. Mengapa? Karena  kedudukan kita dalam mengkaji ilmu di sudut badan ilmu. Bila Francis Bacon mengantarkan metodologi untuk memperoleh kebenaran ilmu-ilmu tetang alam, Descartes cenderung mengantarakan metrodologi tentang ilmu-lmu sosial, meski konsep itu aplikabel juga untuk ilmu-ilmu yang lain.

Dari contoh tersebut di atas, baik isi maupun metodologi ilmu dikuasi oleh bangsa Barat. Dari dua kasus itu, dapat dinyatakan begitu pentingnya arti metode dalam mengkaji setiap objek/persoalan agar diperoleh objektivitas konsep ilmunya.

Oleh karena itu, menurut saya, metode merupakan faktor penting dalam setiap kajian ilmu yang menggunakan objek/persoalan nyata. Setelah kita memperhatikan gejala keilmuan, kita dapat menyatakan bahwa kita perlu merefleksi perilaku keilmuan kita, untuk dinilai seberapa rugi kita memiliki filsafat ilmu yang instan.

Dalam menghadapi segala hal kita ingin menempuh jalan pendek, dengan meniru, menyontek, tidak ingin susah-susah, ambil yang telah jadi, ini semua adalah filsafat ilmu kita yang menyesatkan, yang menyebabkan bangsa kita menjadi bodoh meskipun pribadi-pribadi bangsa kita cerdas-cerdas. Sehingga akibat kesalahan filsafat ilmu kita itu, dalam kita menghadapi segala persoalan yang memerlukan pkiran, hati dan fifsik kita hindari.

Berdasarkan hasil penelitian saya, cara pembelajaran ilmu di sekolah saat ini adalah dengan cara textual. Hal ini terjadi karena pendidikan kita meniru cara kita mengkaji ilmu dengan cara textbook. Hal ini terjadi disebabkan karena filosofi ilmu kita yang keliru, tidak mengkaji ilmu, tetapi memungut ilmu.

Contoh praktis saat saya mengkaji reproduksi bekicot, ternyata dalam dunia ilmu belum diketahui metodologinya. Satu setengah tahun lamanya waktu yang digunakan untuk menemukan metodologinya. Setelah diketemukan metodologinya tiga bulan penelitian dapat diselesaikan. Pada saat mencari metodologinya, saya merasa memperoleh sentuhan Tuhan.

Selama itu saya memelihara ratusan bekicot yang berada dalam berbagai macam kandang, tetapi apa yang terjadi? Kegiatan mereka (bekicot) hanya makan dan  melepaskan kotoran saja, tidak ada yang lain. Setelah saya agak putus asa, ternyata Tuhan mulai memberikan pendampingannya. Saat itu di pagi hari, saya buka pintu depan rumah, saya lihat di depan rumah yang sekian luas ada sepasang bekicot kawin..

Dari gejala itu saya berpikir…Kalau begitu bekicot itu tidak dapat dijinakkan, mereka hidup bebas, hidup liar. Keadaan dan pemikiran itu, membuat saya terpacu  membuat sistem kandang yang dirasa oleh bekicot bebas tidak terkurung.

Sorenya ke dalam kandang itu dimasukkan bekicot sekitar 200, ternyata di malam harinya begitu banyak bekicot kawin, dan berbagai macam kegiatan yang lain, bahkan tampak ada kecenderungan bekicot bergerak ke arah tertentu, kearah cahaya dan ke arah media dari pasir. Dari gejala itu memacu untuk menemukan variabel penelitian, dan akhirnya ketemulah metoda penelitian reproduksi bekicot. Dari metodologi itu, kita dapat mendiskripsi gejala-gejala kelakuan reproduksi bekicot, yang dapat dirumuskan dalam bentuk konsep ilmu.

Oleh karena itu tiga pilar filsafat ilmu berupa objek, metodologi dan konsep  yang disusun dalam badan ilmu, secara filosofis menjadi pilar kajian ilmu, sehingga bila pilar kajian ilmu ini dtransformasikan ke kegiatan belajar, siswa dihadapkan kepada objek/persoalan  kajian dengan metodologinya, dan diperoleh hasil berupa konsep ilmu.

Dari cara ini peserta didik kita tergerak melakukan (1) penginderaan dan pengamatan, (2) belajar ketelitian dan kecermatan, (3) melakukan identifikasi gejala-gejala baru, (4) seleksi dan pengelompokan data serumpun, (5) penggabungan data-data serumpun untuk bahan prakonsep, dan (6) konseptualisasi. Sehingga kita dapat mengembangkan kompetensi siswa dengan cara belajar yang demikian itu, ialah (1) kompetensi metedologi, dan (2) kompetensi konseptualisasi.

Bangsa kita sangat lemah dalam hal membuat konsep atau konseptualisasi, karena keterlanjuran kita terbiasa memungut konsep-konsep jadi dari luar dan tidak pernah dilatihkan cara membuat konsep itu dalam pendidikan kita, sehingga produk-produk konsep kita sangat tidak fungsional bahkan dapat menimbulkan pro-kontra yang berkepanjangan.

Selain itu bila filsafat ilmu kita yang instan itu kita terus-teruskan, ilmu dan teknologi yang sekarang sebagai muatan global bangsa, tidak akan beralih menjadi muatan lokal bangsa, dan dalam bidang ilmu dan teknologi, kita tetap menjadi bangsa yang konsumtif dan tergantung selamanya, maukah kita seperti itu? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya