SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Jakarta–Usulan referendum mengemuka lantaran pembahasan RUU Keistimewaan (RUUK) DIY tidak rampung-rampung. Perdebatan panjangnya adalah terkait pemilihan atau penetapan gubernur. Bila referendum dilakukan, dikhawatirkan terjadi ketegangan politik.

“Ini bisa jadi petisi di daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Bisa memicu ketegangan politik. Lagi pula, aturan normatif soal ini tidak ada,” ujar pengamat politik dari UGM AAGN Ari Dwipayana, Kamis (2/12).

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Dikatakan dia, konflik di Jogja terkait kepala daerah mulai muncul pada 1998. Isu mencuat kembali pada 2007 dan pada 2010 ini. Ari mengingatkan, Indonesia punya preseden buruk dengan referendum, yakni ketika digelar di Timor Timur (sekarang Timor Leste) dan berujung pada lepasnya daerah itu dari NKRI.

“Referendum juga tidak mudah. Karena tidak hanya dilakukan di Jogja saja, tapi juga di seluruh Indonesia. Bukan hanya di satu daerah. Usulan (referendum) ini bisa dipahami sebagai wujud kekecewaan,” sambung Ari.

Dijelaskannya, bila referendum kembali dilakukan di Indonesia, maka hal itu bisa dipakai daerah lain untuk melakukan hal yang sama. Secara legal konstitusional, referendum juga tidak ada.

“Referendum adalah statemen ketidakpuasan. Banyak yang berharap pembahasan RUU ini segera dilakukan, karena sudah cukup panjang,” imbuh pria yang juga tergabung dalam tim penyusun draf RUUK DIY versi Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) UGM ini.

Menurutnya, pertaruhannya terlalu besar jika referendum dilakukan. Sebab berpotensi melahirkan polarisasi yang tajam di Jogja, mengingat di Jogja pun ada silent majority.

“Konsekuensi politiknya luas. Delegitimasinya juga ada meski 1-2 persen. Sebaiknya jangan referendum, tapi dibicarakan di atas meja,” saran Ari.

Usulan referendum dilontarkan Sri Sultan Hamengkubuwono X terkait klausul Gubernur DIY ditetapkan atau dipilih langsung. Karena prihatin atas berlarut-larutnya proses penggodokan RUUK DIY, warga Jogja di sekitar Alun-alun Utara Jogja mendeklarasikan terbentuknya Komite Independen Pengawal Referendum (KIPER) pada 5 Oktober 2010.

Mereka menyatakan kesiapannya mengawal dilaksanakannya referendum di bumi Mataram. Meski demikian, bagi mereka, referendum adalah pilihan terakhir, jika nanti pengisian Gubernur DIY tetap dipaksakan melalui proses pemilihan langsung.

Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo mengatakan, referendum bisa menjadi solusi tengah mengenai klausul paling penting dalam RUUK DIY yang tak kunjung rampung. Menurutnya, referendum perlu menjadi pertimbangan pemerintah pusat agar ada win-win solution yang mana mengembalikan kepada kedaulatan rakyat.

RUUK DIY diusulkan oleh Pemprov DIY pertama kali pada 2002. Pada 2007, Depdagri mendapat beberapa usulan draf RUUK DIY, tidak hanya dari JIP UGM tetapi juga dari DPD dan Pemprov DIY. Mendagri berharap bisa menyerahkan RUU hasil godokannya pada DPR pada Desember 2010 untuk selanjutnya dibahas.

Menurut pemerintah, ada 7 keistimewaan DIY yang diatur dalam RUU itu. Hanya saja, 1 poin belum mencapai kata sepakat yaitu soal mekanisme pimpinan DIY, apakah lewat penetapan seperti sekarang atau lewat pemilihan/pemilukada.

dtc/rif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya