SOLOPOS.COM - Foto udara kawasan Rawa Jombor, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Klaten, Jumat (19/11/2021). Pemandangan warung apung yang selama ini memadati kawasan utara waduk tersebut tak lagi terlihat setelah satu per satu warung dibongkar para pemiliknya. (Istimewa)

Solopos.com Stories

Solopos.com, KLATENRawa Jombor menjadi salah satu potensi alam yang dimiliki Kabupaten Klaten. Rawa Jombor dengan luas kurang lebih 180 hektare (ha) ini berada di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Penamaan Rawa Jombor terkait erat dengan lokasinya yang berupa daerah rawa. Lokasi tersebut dulunya diketahui sering tergenang air. Sedangkan Jombor diyakini merupakan nama lama di Desa Krakitan, Kecamatan Bayat.

Dilansir dari wikipedia, Rawa Jombor terletak kurang lebih delapan kilometer ke arah tenggara dari pusat Kota Klaten. Bentuk Rawa Jombor dinilai sangat unik. Bentuknya berupa segi banyak tak beraturan.

Rawa Jombor memiliki ukuran panjang 7,5 kilometer dengan kedalaman 4,5 meter. Rawa Jombor mampu menampung air sebanyak 4 juta meter kubik.
Sebelum menjadi rawa, kawasan Rawa Jombor merupakan sebuah perkampungan. Di dasar rawa di bagian barat laut diyakini masih terdapat kawasan makam dari perkampungan yang sudah terendam sejak lama.

Pembangunan Rawa Jombor bertujuan menampung air dari sungai-sungai yang ada di sekitarnya. Keberadaan Rawa Jombor juga ditujukan mencegah banjir dari luapan air sungai di sekitarnya tersebut.

Baca Juga: Hii! Ini Jenis Ular yang Masih Sering Ditemukan di Rawa Jombor

Rawa Jombor memiliki fungsi utama mendukung saluran irigasi di areal persawahan di sekitarnya. Dalam perkembangannya, Rawa Jombor juga dimanfaatkan keperluan lain, seperti kuliner, pariwisata, perikanan, dan lainnya.

Solopos.com, pernah menelusuri sejarah terbentuknya Rawa Jombor di kantor Desa Krakitan, Kecamatan Bayat. Dalam buku berjudul Mengenal Desa Krakitan di tahun 1980 disebutkan sebelum menjadi rawa, kawasan tersebut berupa pekarangan, sawah, serta permukiman warga.

Pada 1900 atau sebelumnya, kawasan Rawa Jombor Klaten merupakan tanah rendah, seperti kedung yang lebar dikelilingi pegunungan. Lantaran lokasinya sangat rendah, air yang berada di kawasan itu tak bisa terbuang, baik saat musim hujan maupun kemarau.

warung apung rowo jombor
Suasana kawasan sisi barat Rawa Jombor, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat yang dimanfaatkan warga untuk membuka usaha jasa perahu wisata, speed boat, serta skuter listrik, Minggu (23/1/2022). (Solopos/Taufiq Sidik Prakoso)

Di sisi barat laut tanah rendah itu, ada Kali Ujung yang mengalirkan airnya hingga ke Kali Dengkeng. Dimungkinkan lantaran Kali Ujung sering kelebihan air saat musim hujan, air yang berada pada tanah rendah tersebut kian melebar hingga menjadi rawa.

Kelebihan air itu terus menggenangi tanah pekarangan, sawah, hingga permukiman warga. Alhasil, penghuni kampung dipindahkan ke tempat lain di tepi rawa atau tanah tegalan di sekitarnya.

Baca Juga: Mak Tratap! Ular Piton Nyelonong ke Bodi Sepeda Motor di Rawa Jombor

Kasi Kesejahteraan Rakyat dan Pelayanan Desa Krakitan, Suwanto, mengatakan benda atau bangunan yang membuktikan sisa perkampungan sebagian masih terpendam di dasar rawa.

“Masih ada makam di dalam rawa. Namun, karena sudah terlampau lama, saat ini posisinya terendam lumpur,” kata Suwanto saat ditemui di kantor Desa Krakitan, Kamis (24/10/2019).

Pada 1901, Raja Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono (PB) X, bersama Pemerintah Belanda mendirikan pabrik gula di Manisharjo, Kecamatan Pedan.
Lantaran memerlukan air untuk lahan yang ditanami tebu, PB X bersama Pemerintah Belanda membangun saluran air dari Rawa Jombor.

Pekerjaan dimulai pada 1917 dengan membuat terowongan menembus gunung dan membuat talang di atas Kali Dengkeng. Proses pembangunan rampung pada 1921.

Saat perang dunia (PD) II pecah tahun 1941-1942, Pemerintah Belanda yang sebelumnya menguasai Indonesia pergi dan digantikan Pemerintah Jepang. Oleh Pemerintah Jepang, Rawa Jombor dijadikan waduk dengan cara dibangun tanggul.

Baca Juga: Waspada Lur! Pengedar Pil Koplo Mulai Sasar Pemancing di Rawa Jombor

Pembangunan tanggul dilakukan para pekerja paksa atau dikenal dengan romusa. Tanggul selebar 5 meter mengelilingi waduk itu hingga luasan rawa menyusut dari sekitar 500 ha tersisa 180 ha. Rawa Jombor difungsikan tempat penampungan air guna irigasi lahan pertanian sekitar 270 ha.

rawa jombor
Speed boat melaju di Rawa Jombor, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Minggu (19/12/2021). Kawasan Rawa Jombor kian bersih seiring bergulirnya program penataan dan revitalisasi.
(Solopos/ Taufiq Sidik Prakoso)

Salah satu warga Krakitan, Darminto, mengatakan ada sekitar tujuh dukuh di tanah rendah yang kini menjadi Rawa Jombor. Dukuh itu di antaranya Drajat, Jombor, serta Tawang.

“Ada permukiman tetapi sedikit. Lainnya sawah,” kata dia.

Lantaran terus tergenang air, warga dari kampung itu dipindahkan. Sementara, kawasan Rawa Jombor mulai dibangun menjadi waduk pada zaman penjajahan.

“Ada pembangunan lagi itu kalau tidak salah sekitar 1967,” kata dia.

Baca Juga: Kisah Petani Karamba Rawa Jombor Banting Setir di Tengah Revitalisasi

Saluran Irigasi

Di antara saluran irigasi yang dikenal di kawasan Rawa Jombor, yakni saluran irigasi yang menghubungkan Rawa Jombor-Jotangan. Di lokasi ini terdapat terowongan saluran irigasi yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda.

Pemdes Jotangan, Kecamatan Bayat di masa kepemimpinan Supono selaku penjabat (Pj) kepala desa (kades) pernah berkeinginan membangun wisata menyusuri terowongan saluran irigasi di bawah bukit Pegat, kawasan Rawa Jombor. Hal itu dilakukan, sejak 26 September 2018.

Panjang saluran irigasi dari Rawa Jombor-Jotangan lebih dari 1,5 kilometer. Lebar saluran irigasi itu sekitar dua meter. Saat melintasi Desa Jotangan, saluran irigasi itu melalui terowongan irigasi yang menembus bukit Pegat tak jauh dari Rawa Jombor.

Di antara terowongan itu terdapat celah udara. Oleh warga setempat, celah udara itu disebut sumur.

Kawasan Taman Nyi Ageng Rakit,
Warga menikmati suasana Taman Nyi Ageng Rakit, Desa Krakitan, Kecamatan Bayat, Minggu (19/12/2021). Taman itu menjadi daya tarik baru di kawasan Rawa Jombor. (Solopos/ Taufiq Sidik Prakoso)

“Sesuai hasil musyawarah warga, kami ingin memanfaatkan saluran irigasi di bawah bukit Pegat sebagai objek wisata. Jika berhasil, wisata menyusuri terowongan di Jotangan ini digadang-gadang menjadi satu-satunya di Jateng,” jelas kata Pj. Kades Jotangan, Supono, saat ditemui wartawan di kantornya, Rabu (20/3/2019).

Baca Juga: DAMRI Akhirnya Lebih Dahulukan Girpasang Daripada Rawa Jombor, Kenapa?

Terowongan saluran air di Jotangan sepanjang 300 meter sudah tertata rapi. Atap terowongan sudah disemen. Pintu masuk terowongan di bagian hilir berdiameter 1,5 meter.

Ada tiga sumur di Jotangan. Dua sumur berbentuk lingkaran. Satu sumur berbentuk kotak. Selain di Jotangan, ada juga satu sumur yang lain berbentuk lingkaran di Krakitan.

“Nantinya, susur terowongan ini akan diawali di sumur dengan diameter terbesar [sekitar 10 meter]. Susur terowongan menggunakan ban diproyeksikan bagi wisatawan yang suka tantangan. Bagi anak-anak atau para ibu, kami siapkan susur saluran irigasi, seperti tubing di bagian hilir di Jotangan,” katanya.

Zaman Penjajahan Belanda

Anggota BUM Desa Jotangan, Sigit Budi, 36, mengatakan saluran irigasi di Jotangan dibangun pada zaman penjajahan Belanda sekitar tahun 1924. Hingga sekarang, bangunan konstruksi saluran irigasi itu masih kokoh termasuk terowongan irigasi yang menembus bukit Pegat.

“Terowongan saluran irigasi yang di Jotangan sudah tertata rapi. Atapnya sudah disemen. Kalau yang berada di Krakitan masih alami. Atap terowongan di Krakitan ada stalaktit. Sebagai tahap awal, kami fokus mempercantik pintu keluar terowongan dan masing-masing sumur. Sumber anggaran dari dana desa senilai Rp270 juta,” ujar dia.

Baca Juga: Rawa Jombor Direvitalisasi, Di Mana Lokasi Karamba Warga?

Salah satu warga Jotangan, Romi, 29, mengaku sudah menyusuri terowongan sepanjang 300 meter di daerahnya berulang kali. Romi menyusuri terowongan dengan jalan kaki saat mencari ikan. Sekali menyusuri terowongan, biasanya memperoleh ikan satu karung (ukuran 25 kilogram]. Jenis ikannya, seperti nila, gurameh, dan lele.

“Kondisi di dalam sangat gelap. Terowongan saluran air yang di Jotangan memang sudah tertata rapi. Kalau di Krakitan atapnya masih tanah. Lantaran sudah lama, sudah muncul stalaktit juga. Saat menyusuri terowongan irigasi itu, saya tidak menemukan hewan liar seperti ular,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya