SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Belakangan ini rasa keadilan publik semakin menggeliat. Tentu karena terusik oleh ketidakadilan yang kelewat batas. Kalau pada kasus Prita pengumpulan koin merupakan sebuah protes yang diikuti solidaritas, pada kasus mafi a pajak ajakan memboikot pajak sudah merupakan pembangkangan atau perlawanan.

Bagaimanapun membayar pajak adalah sebuah kewajiban. Membayar pajak –dalam bahasa kanon, memberi kepada penguasa– merupakan salah satu alasan kenapa orang memerlukan kekayaan (A. III, 46). Negara harus menjamin agar rakyat bisa kaya sehingga mampu membayar pajak. Pembayar pajak sepantasnya punya hak tertentu yang tidak dipunyai oleh orang yang tidak membayar pajak.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Makelar kasus
Praktik makelar kasus pajak dan bea cukai ataupun peradilan mengandung unsur kejahatan, berdusta dan mencuri atau mengambil sesuatu yang bukan merupakan hak si pelaku. Setiap bentuk manipulasi berupa penggelapan dan penipuan, pemerasan, suap-menyuap digolongkan sebagai mata pencaharian yang salah.

Bisnis yang mengambil keuntungan berlebihan juga tercela, disamakan dengan merampok (M. III, 75). Mafi a peradilan sudah dikenal di zaman Buddha, dua puluh enam abad yang lalu. Suatu ketika beberapa biksu menyaksikan sejumlah hakim setelah menerima suap membebaskan suatu perkara.

Mengenai kasus ini Buddha berkata bahwa jika hakim memutuskan suatu perkara dipengaruhi oleh rasa kasihan atau pertimbangan keuntungan yang didapatkannya, ia bukanlah hakim yang adil atau yang patuh pada hukum.

Seorang hakim yang adil seharusnya menimbang kesaksian dan memeriksa bukti dengan teliti –mana yang benar, mana yang salah– tanpa tergesa- gesa dan tidak berat sebelah memutuskan suatu perkara (DhpA. 256-257).

Setiap orang bisa salah, dan seharusnya tidak boleh bohong. Sedang mereka yang berurusan dengan hukum agaknya bisa bohong asal tidak salah menurut ketentuan hukum. Lain dengan Abraham Lincoln, sebagai pengacara ia menolak untuk menangani kasus yang sangat oke dari segi teknis hukum tetapi tidak memenuhi rasa keadilan.

Katanya kepada seorang klien, “Bila aku membelamu, maka saat berdiri untuk ber bicara kepada juri pasti aku akan berpikir: Lincoln, kau seorang pembohong! Dan aku yakin bahwa aku akan lupa diri sehingga mengatakannya dengan keras.”

Kesadaran akan kelayakan
Keadilan bisa diartikan berbeda-beda oleh berbagai kelompok masyarakat, tetapi biasanya menyangkut hak seseorang dalam relasi antarmanusia. Melaksanakan keadilan tak lain dari memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.

Rasa keadilan timbul karena kesadaran akan kelayakan. Kesadaran itu mendorong seseorang bertindak. Konon di India ada seorang pemuda yang memutuskan untuk masuk dinas militer.

Pemuda itu memiliki sifat-sifat yang se harusnya diperlukan untuk menjadi seorang jenderal, yaitu berani, percaya diri, cerdas, pandai berorganisasi dan cakap memimpin, kuat kemauannya, tegas, peka dan cepat tanggap, adil, dan sebagainya.

Kebetulan ia melihat beberapa orang polisi memukuli seorang rakyat kecil. Ia tertarik pada peristiwa itu dan ingin mengetahui permasalahannya. Polisi merasa curiga, dan berusaha menahan pemuda itu.

Rasa keadilan membuat si pemuda melawan, lalu buron. Lenyap sudah kesempatan baginya untuk menjadi jenderal di kemudian hari. Pemuda itu mendapatkan tempatnya di antara para berandal.

Apa sudah takdirnya ia menjadi kepala begal? Takdir sering menjadi alasan kenapa manusia begini atau begitu, kenapa sistem kasta membedakan derajat manusia berdasarkan kelahirannya.

Rasa keadilan membuat Buddha menolak sistem kasta dan praktik diskriminasi. Begitu juga RA Kartini dan para feminis berjuang karena rasa keadilan. Rasa keadilan mempertanyakan sisi gelap kehidupan seorang manusia.

Ada yang dilahirkan buruk rupa, cacat, atau mengidap penyakit ke turunan. Benarkah salah bunda mengandung? Orangtuanya yang miskin memang tidak berdaya, harus hidup menderita.

Mereka tidak boleh iri kepada sesamanya yang hidup ber kecukupan. Bahkan kepada anjing peliharaan yang dimanjakan oleh pemiliknya yang kaya. Ini bukan takdir, melainkan ekspresi keadilan yang ditunjukkan oleh hukum karma (perbuatan).

Sesuai dengan perbuatan masing-masing, para makhluk menjalani siklus lahir dan mati berulang-ulang, menerima akibat dari perbuatannya sendiri (A. V, 291). Ke mahakuasaan dan keadilan Tuhan dimanifestasikan antara lain melalui hukum universal ini.

Maha Upasaka
Pandita Krishnanda
Wijaya-Mukti

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya