SOLOPOS.COM - Mohamad Ali Direktur Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Solo, Studi S3 Ilmu Pendidikan di UNY. (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Mohamad Ali, Direktur Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Solo, Studi S3 Ilmu Pendidikan di UNY. (JIBI/SOLOPOS/Ist)

Membaca hasil evaluasi Kemendikbud bahwa proyek RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf internasional) gagal melahirkan SBI sesuai tenggang waktu yang ditentukan, bukanlah kabar mengejutkan. Sudah sejak awal sebagian besar pedagog memprediksi proyek RSBI akan berantakan. Namun, meski mendapat rapor merah dari Kemendikbud, proyek itu akan terus berjalan. Publik tentu bertanya-tanya, ada apa dan mengapa Kemendikbud tetap ngotot meneruskan? Padahal sudah jelas-jelas proyek RSBI itu gagal total. Ibarat seorang murid yang mendapat banyak nilai merah di rapor, secara bijak guru pun tidak akan menaikkannya.

Promosi Mitsubishi XForce: Stylish untuk Wanita, Praktis buat Ibu Muda

Amat disayangkan dalam publikasi hasil evaluasi proyek RSBI yang disampaikan Kemendikbud itu tidak dijelaskan secara eksplisit mengapa dan siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan proyek itu. Di situ hanya disebutkan kekuarangan prosentase guru berijazah S2 sebagai penyumbang terbesar kegagalan RSBI menjadi SBI. Padahal tanpa kejelasan mengenai mengapa mengalami kegagalan dan siapa yang bertanggung jawab terhadap kegagalan itu, potensi mengalami hal serupa di masa mendatang terbuka lebar. Kerbau saja tidak mau terperosok pada lubang yang sama. Tapi mengapa kita berulang kali terperosok dalam kegagalan yang sama?

Menurut penulis, permasalahan itulah yang seharusnya dijawab tuntas dalam evaluasi Kemendikbud. Sebab di pusaran itulah seluruh masalah bangsa ini menggunung dan tidak pernah terurai sama sekali. Coba disimak, korupsi di mana-mana mulai hulu sampai hilir, semua orang berteriak anti korupsi tetapi virusnya malah semakin mendarah daging dan membudaya. Jika kita sepakat pendidikan menjadi benteng solusi bangsa, maka sudah pada tempatnya bila pelaku dunia pendidikan mulai merintis jalan ke arah itu.

Berpangkal tolak pada alur pemikiran di atas, artikel ini berupaya merefleksikan akar-akar penyebab kegagalan RSBI, sekaligus menunjukkan siapa yang harus mempertanggungjawabkannya. Sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan itu, penulis meminjam kerangka analisis yang ditawarkan Michael G Fullan dalam buku monumentalnya, The New Meaning of Educational Change. Ia dikenal luas secara internasional sebagai pakar kebijakan dan pengembangan pendidikan terkemuka saat ini. Oleh karena itu sangat relevan dimintai urun pemikiran dalam upaya memahami akar permasalahan kegagalan RSBI.

Akar kegagalan
Untuk menilai dan mempredikasi apakah rencana atau program inovasi pendidikan itu berlangsung sukses atau tersandung batu kegagalan, Fullan (1993: 30-43) memaknainya dari dua sudut pandang, yaitu makna subjektif (subjective meaning) dan realitas objektif (objective reality). Realitas objektif merujuk pada kualitas program inovasi beserta perincian rencana implementasinya. Sedangkan makna subjektif melihatnya dari sisi pelaku perubahan, yaitu sejauh mana pelaku perubahan itu memahami, mencerna, menyadari, dan menerima program baru itu.

Untuk menjamin kesuksesan rencana inovasi pendidikan harus dipertimbangkan dan dipersiapkan secara matang kualitas program beserta rencana aksi di lapangan dan menyadarkan para pelaku di lapangan tentang arti penting program itu bagi pelaku (sekolah/guru), masyarakat, bangsa, dan perbaikan kehidupan. Tanpa mempersiapkan kedua hal itu, rencana inovasi tidak ubahnya seperti orang yang bermain dadu di mana potensi kegagalan mencapai 99,9%. Tentu saja kita tidak rela kalau urusan pendidikan anak-anak bangsa yang begitu kritis dilakukan sekadar coba-coba.

Pertama kita telaah kualitas program RSBI. Pengertian RSBI yang paling sederhana adalah standar nasional pendidikan plus X. Rumusannya sebagai berikut, RSBI/SBI = 8 SNP + X. Sekolah yang dipilih menjadi perintis RSBI adalah yang telah melampaui 8 standar nasional pendidikan, yaitu isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Sedangkan pengertian X mengacu pada wawasan global berupa kemajuan pendidikakan di negara-negara maju.

Sampai detik ini yang dimaksud elemen X itu tidak pernah dijelaskan secara gamblang apa maksudnya. Ketidakjelasan itu kemudian membuka ruang penafsiran secara dangkal, seolah-olah elemen X itu adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar dalam proses belajar mengajar. Kedangkalan ini berakibat fatal, alih-alih meningkatkan kualitas proses belajar di kelas, justru malah menurunkan tingkat ketuntasan siswa dalam memahami konsep-konsep kunci keilmuan. Elemen X juga dipahami sebagai ketersediaan fasilitas mewah di sekolah berlabel RSBI sehingga membuat biayanya membubung tinggi. Meski sudah digelontor ratusan juta rupiah setiap tahun tetapi tetap menarik biaya tambahan yang tidak sedikit pada orangtua siswa.

Pada tingkat ini yang paling bertanggung jawab atas buruknya kualitas program adalah mereka para perencana program RSBI yang memutuskan dan merencanakan kebijakan (baca: Kemendikbud pusat). Mereka tidak bisa mengelak dan melemparkan tanggung jawab kegagalan itu kepada para pelaku di lapangan. Pertanyaannya, apakah para pelaku RSBI di lapangan yaitu sekolah-sekolah perintis tidak bisa dimintai pertanggungjawaban? Mereka tetap harus bertanggung jawab atas kegagalan itu sesuai kapasitas yang diemban. Yaitu ketidakmampauannya dalam memahami, mencerna, dan menyadarkan seluruh warga sekolah (guru dan siswa) dan pemangku kepentingan (stakeholder) untuk bersama-sama menyukseskan program tersebut.

Gencarnya desentralisasi pendidikan yang membuka otonomi dan kebebasan yang begitu luas kepada sekolah untuk merancang sendiri program inovasinya membuat mereka turut bertanggung jawab. Dalam situasi sekarang terbuka ruang bagi sekolah untuk menolak program eksternal yang dinilai tidak senafas dengan perencanaan sekolah itu di masa depan. Masalahnya, kucuran uang begitu besar dari pusat dan kebebasan sekolah untuk menarik biaya kepada orangtua dipandang sebagai “durian runtuh” yang dinantikan setiap sekolah untuk mendapatkan jatah menjadi RSBI.

Berdasarkan seluruh alur pemikiran di atas bisa diketahui secara terang benderang akar penyebab kegagalan RSBI menjadi SBI dan siapa-siapa yang harus mempertanggungjawabkan kegagalan itu di muka publik, tentu saja juga dihadapan Tuhan. Meskipun sudah jelas-jelas gagal total, namun Kemendikbud tidak bergeming dan akan terus melanjutkan program itu. Tentu publik harus mengawal lebih serius, apakah yang dimaksud terus melanjutkan proyek RSBI juga bermakna terus menggelontorkan uang ratusan juta rupiah kepada sekolah-sekolah berlabel RSBI?

Sedikit banyak publik juga turut bertanggungjawab atas kegagalan proyek RSBI, yaitu mereka yang tahu kekeliruan dan kejanggalan tetapi mendiamkan program itu berjalan terus tanpa menyuarakan kritik-kritik tajam. Karena Kemendikbud sudah lantang akan meneruskan proyek RSBI, publik pun harus bersuara lebih lantang dalam melancarkan kritik-kritiknya. Dengan cara demikian, diharapkan akan ditemukan jalan-jalan alternatif yang lebih lempang dan lurus menuju tercapainya impian untuk mewujudkan sekolah-sekolah Indonesia yang mampu menembus kualitas berkelas dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya