SOLOPOS.COM - Y Bayu Widagdo, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Y Bayu Widagdo, Wartawan Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI)

Akhir pekan lalu, kebetulan saya diundang sebuah media massa terbesar di negeri ini untuk menjadi peserta focus group discussion yang diadakan lembaga riset media itu. Delapan peserta yang diundang dengan aneka latar belakang profesi, mulai akademisi, pejabat tinggi pemerintahan, pelaku usaha, wartawan hingga aktivis untuk membahas topik yang cukup membuat kening berkerut, bagaimana mencari model alternatif kepemimpinan di negara ini, khususnya menghadapi pemilu dua tahun mendatang.

Promosi Jalur Mudik Pantura Jawa Makin Adem Berkat Trembesi

Lembaga riset itu memberi argumen, problem Indonesia yang sedemikian kompleks membutuhkan figur kepemimpinan yang tepat, yang mampu mengurai dan membenahi, sekaligus menjadi simpul yang menyatukan gerak langkah bangsa ini. Selama 15 tahun terakhir, negara ini bisa dibilang mengalami krisis kepemimpinan.

Selama periode itu, nyaris tidak ada desain yang cukup matang untuk menggagas kepemimpinan yang seharusnya dibutuhkan oleh negara ini. Pemimpin yang muncul lebih merupakan pemimpin reaktif, sekadar memainkan bandul yang berlawanan arah dengan pendahulunya.

Diskusi kami bersembilan berjalan hangat, membicarakan mulai dari persoalan kriteria kepemimpinan ideal yang dibutuhkan Indonesia saat ini hingga akhirnya masuk ke persoalan riil mengenai aneka figur yang ada saat ini yang kira-kira bisa cocok dengan kriteria kepemimpinan yang dibutuhkan negara ini.

“Indonesia butuh pemimpin yang tegas dan berani menghadapi parlemen,” kata satu peserta diskusi.

“Kita perlu pemimpin yang bukan penguasa, tapi mau melayani rakyatnya, seperti sekarang dilakukan oleh Gubernur DKI Jokowi,” tegas yang lain.

“Siapa pun dia, harus dari kultur dominan, biar efektif pemerintahannya,” usul lainnya.

Persoalannya, dari aneka kriteria ideal yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia, menjadi sulit untuk menemukan semuanya pada figur-figur yang ada saat ini yang sering diberitakan berminat atau mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin negara ini.

“Dari nama-nama yang beredar saat ini hampir tidak ada yang memenuhi kriteria yang kita harapkan. Apa tidak bisa presiden mendatang kita outsourcing-kan saja,” ujar seorang ahli hukum.

Restu Tetangga

Masuk akal juga apa yang dikatakannya. Ibarat sebuah perusahaan multinasional raksasa yang mencari CEO, pemegang sahamnya tinggal buka lowongan, siapa pun bisa mendaftar, tinggal pilih yang terbaik. Bila tidak memberikan hasil yang diinginkan, tinggal pecat. Masalahnya, hal ini tidak diatur dalam konstitusi negara ini.

Saya menambahkan, siapa pun calonnya nanti, perlu diingat dia harus mendapat restu dari Singapura dan Amerika Serikat. Indonesia memang negara besar di Asia Tenggara, tapi penguasa sesungguhnya adalah Singapura. Berikutnya, setelah bisa mendapatkan restu dari Singapura, akan lebih baik bila penguasa dunia saat ini—terlepas Anda suka atau tidak suka—Amerika Serikat juga bisa menerimanya.

“Dalam kondisi global seperti sekarang ini, faktor geopolitik memang tidak bisa dinafikan. Nyatanya memang kedua negara itu yang berpengaruh,” ujar satu pejabat tinggi sebuah kementerian yang ikut dalam diskusi itu.

Benar tidaknya faktor kedua negara itu, namun yang jelas kita bisa menyaksikan bagaimana seorang Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto, yang disebut-sebut akan maju dalam Pemilu 2014 berupaya mencari sawab dari kedua negara itu. Beberapa waktu lalu, Prabowo berbicara dalam sebuah forum bergengsi di negara itu.

“Respons yang diterima sih positif. Kami welcome saja bila dia jadi,” ujar seorang eksekutif Temasek—perusahaan investasi raksasa milik pemerintah Singapura, yang saya temui beberapa waktu lalu.

Aburizal pun berusaha mengambil hati Singapura. Tidak tanggung-tanggung. Ical—panggilan Aburizal—lewat Bakrie Center Foundation sampai perlu menggelontorkan jutaan dolar Singapura ke S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), yang merupakan salah satu think-thank utama Singapura, khususnya untuk kebijakan internasional. Memang bukan jaminan bahwa negara tetangga itu pasti mendukung Ical.

“Setidaknya, kami jadi semakin memahami bagaimana Ical maupun Prabowo,” ujar eksekutif Temasek itu.

Lebih jauh ke Amerika Serikat, diakui atau tidak, seseorang yang mau memimpin sebuah negara tampaknya harus meminta restu polisi dunia itu. Tidak direstui sama saja artinya diganggu terus-menerus. Lihat saja Hugo Chavez di Venezuela atau Ahmadinejad di Iran. Sejarah pun menunjukkan bagaimana Paman Sam selalu berupaya memasang orang-orang yang direstuinya untuk menjadi pemimpin sebuah negara.

Mengambil hati Paman Sam menjadi sebuah kebutuhan juga bagi para calon presiden Indonesia. Ical bahkan jauh-jauh hari sudah berupaya melakukannya dengan pada Juli 2010 dengan mendirikan sebuah lembaga kajian strategis di Washington DC, AS.

Lembaga yang bergerak di bidang kajian politik, ekonomi dan strategi pembangunan untuk kawasan Asia Tenggara itu diberi nama Bakrie Chair For Southeast Asian Studies dengan menggandeng salah satu lembaga kajian kelas dunia di AS, Carnegie Endowment For International Peace. Carnegie ini bukan lembaga think-thank ecek-ecek, pengaruhnya sangat besar di negara Paman Sam.

Tidak mau kalah, Hashim Djojohadikusumo—saudara Prabowo Subianto—pun mendirikan Sumitro Djojohadikusumo Center for Emerging Economies in Southeast Asia (SDCEESEA) pada September 2012. Setali tiga uang, lembaga yang digandeng juga bukan lembaga ecek-ecek, The Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC, yang memiliki reputasi tinggi.

Hashim—salah satu pengusaha besar Indonesia—mendirikan SDCEESEA untuk mengenang perjuangan almarhum ayahnya, Professor Sumitro Djojohadikusumo, arsitek ekonomi Indonesia modern. Yang menarik, dalam keterangan pers pembentukan lembaga itu disebutkan pula, bahwa Sumitro merupakan bapak dari Prabowo Subianto.

Memang, mungkin pendirian lembaga-lembaga think-thank semacam itu tidak ada kaitannya dengan upaya pencalonan Prabowo maupun Ical pada Pemilu 2014.



“Kalau mereka bukan mencari restu dari Amerika atau Singapura, kenapa repot-repot membentuk think-thank di kedua negara itu? Kalau benar-benar nasionalis, kenapa tidak membesarkan lembaga serupa di Jakarta saja? Lagian timing-nya kok baru sekarang?” tanya seorang teman.

Sekali lagi, itu mungkin ada benarnya. Mungkin juga ada tidak benarnya. Yang jelas, siapa pun yang akan memenangkan pemilu presiden Amerika Serikat 6 November besok, sedikit banyak akan berpengaruh bagi siapa yang terpilih untuk menjadi presiden Indonesia 2014.

“Tapi bisa juga menunggu siapa nanti yang paling banyak dicerca oleh Rhoma Irama…itu yang jadi..,” ujar seorang peserta diskusi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya